Thursday, 5 February 2015

FILSAFAT ISLAM2

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT ISLAM

2.4. Aliran- aliran Filsafat Islam

Kita mungkin telah tahu bahwa zaman modern sekarang ini di dominasi oleh filsafat Barat dan filsafat materialisme, sesuatu di nilai dengan materi yaitu dengan uang. Zaman sekarang ini orang dibagi menjadi beberapa bagian :

1.      Ada orang yang tahu dan merasa bahwa mereka telah mengikuti filsafat Barat dan mengikuti kebudayaan Barat, bahwa kebudayaan Barat merupakan suatu kebudayaan yang lebih maju daripada Islam. Sehingga dalam hidupnya mereka habiskan untuk berfoya-foya, makan ke Resaturant, jalan-jalan, mabuk-mabukan ke Bar, main wanita dan hal-hal lain yang membuat diri kita senang dengan materi dan terpuaskannya hasrat nafsu kita dan melupakan Tuhan. Datang untuk kerja jam 6 pagi, pulang sore untuk mampir ke Bar untuk mabuk-mabukan dan senang-senang dan diakhiri di Rumah, begitulah siklus yang mereka lakukan tiap harinya tanpa merasa bersalah, padahal hati mereka merasa sepi dan ada yang hilang dalam diri mereka, yaitu Tuhan.


2.      Sebagian yang lain tidak merasa masuk dalam kebudayaan Barat dan kebiasaan-kebiasaan Barat tapi setiap tingkah laku mereka mencerminkan kebudayaan dan kebiasaan Barat, seperti : belanja ke mall, menjadi seorang konsumerisme. Orang Islam menjadi seorang konsumen dan orang Barat/ Selain Islam menjadi produsen, kita memakan dan mengkonsumsi produksi dari selain Islam. Pertanyaannya? Jika produksi dari Barat itu bagus dan halal itu boleh saja, tapi jika ada pencampuran dan ada niat buruk dibalik itu kita tidak bisa mengelak. Imam Al-Chumanei mengatakan “pada zaman nanti akan ada yang namanya perang kebudayaan, perang ini tidak disadari tapi sangat membahagiakan orang yang dikenainya”. Mungkin pernyataan Al-Chumanei itu tercermin dengan apa yang terjadi sekarang.

3.      Orang yang tahu dan menjauhi dari budaya Barat tersebut, mereka tahu bahwa freesex itu dilarang, mabuk dan hal-hal yang lain itu dilarang Islam dan bukan termasuk kedalam kebudayaan Islam.


Jadi, sebagai seorang muslim pada zaman modern ini kita harus pintar-pintar memfilter/ menyaring hal-hal yang masuk dari luar dan akan merusak aqidah kita.
Selain akan merusak aqidah kita, akan merusak keamanan dan kestabilan yang ada di negara kita. Ada yang menyebutkan bahwa ada dua hal yang menjadi kekuatan dalam ketahanan nasional.

1.      Hard power .

Yaitu ketahanan nasional kekuatan kasar, disini  berarti kekuatan dari militer dan senjata-senjata yang canggih yang dipunyai negara kita. Namun, lebih daripada itu ada yang lebih kuat dari pada hard power yaitu

2.      Soft power.
Yaitu kekuatan yang lembut dan tidak terlihat , namun sangat kuat. Salah satunya adalah kekuatan kebanggan kepada diri sendiri, agama, dan negara kita. Contohnya negara Israel yang bangga dan mengaku sebagai keturunan nabi dan bangsa terpilih, Amerika yang sangat nasionali dan patriotis, Iran bangga dan mengaku sebagai keturunan Salman Al-farisi negara tersebut bangga akan negaranya sendiri dan menjadi negara yang maju dan bisa dibanggakan diseluruh dunia. Jika bukan kita yang membanggakan negara kita lantas siapa lagi? Jika diri kita sendiri tidak bangga, mana mungkin negara lain mau bangga dengan negara kita.

Saya akan menjelaskan fungsi filsafat bagi kelangsungan sebuah peradaban, karena saya sekolah di sebuah sekolah yang berbasis negara Iran. Maka saya akan memaparkan kenapa Iran bisa tetap maju ketimbang negara yang lain salah satunya adalah karena faktor filsafat Islam, disini saya akan menjelaskan fungsi dari 3 filsafat Islam yang paling mendasari pertumbuhan peradaban di Iran yaitu filsafat paripatetik yang berasal dari buah pikiran dari Ibnu Sina, kemudia Syuhrawardi yang dikenal dengan filsafat Iluminasi dan filsafat Transendensi atau dikenal dengan Hikmah Mutaaliyah, saya akan menjelaskan satu persatu :

1.      Paripatetik

Istilah paripatetik muncul sebagai sebutan bagi para pengikut Aristoteles. Paripatetik sendiri berasal dari bahasa Yunani “paripatein” yang berarti berkeliling, berjalan-jalan berkeliling. Kata ini juga menunjuk pada suatu tempat, beranda dari peripatos. Dan dalam tradisi Yunani, kata ini mengacu pada suatu tempat yang biasa digunakan oleh Aristoteles untuk mengajar sambil berjalan-jalan.[1] Dalam tradisi filsafat islam paripatetik disebut dengan istilah masysyaiyyah yang diambil dari kata masya-yamsyi-masyyan wa timsyaan yang juga memiliki arti berjalan atau melangkahkan kaki dari satu tempat ketempat yang lainLanjutkan Membaca.
Terdapat beberapa ahli hikmah baik yang islam maupun non islam yang dikelompokkan sebagai para filosof paripatetik. Dikatakan sebagai filosof paripatetik dikarenakan oleh  landasan epistemologi yang digunakan bagi filsafat mereka berdasarkan rasional murni yang tersusun dari premis minor dan premis mayor yang telah disepakati. Para filosof tersebut antara lain Plato, Aristoteles, Plotinus. Sementara dari dunia islam antara lain al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina yang kebetulan menjadi wakil para filosof paripatetik sebelumnya, serta pemikirannya yang menjadi objek pembahasan kami pada makalah ini.


a)      Ibn Sina
Abu Ali Hussein ibn Abdullah ibn Sina, yang di Barat dikenal dengan nama Avicenna dilahirkan pada tahun 370 H / 980 M di Afsyana dekat Bukhara, dan meninggal di Hamadan pada tahun 428 H/1037 M. Di Timur ia dikenal sebagai Hujjat al-Haqq (bukti sang Tuhan/kebenaran), Ia terlahir dari keluarga yang menganut paham isma’iliyah. Sejak usia dini, Ibn Sina sudah menunjukkan bakatnya yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan ayahnya yang selalu memperhatikan pendidikannya . di usianya yang kesepuluh, Ibn sina sudah menguasai keseluruhan al-Qur’an dan tata bahasa, dan sudah mulai mempelajari logika dan matematika.  Setelah menguasai logika dan matematika, ia pun segera beranjak untuk mempelajari  fisika, metafiska, dan kedokteran kepada Abu Sahl al-Masihi. Di usianya yang ke enam belas ia sudah mahir dalam semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di masanya kecuali metafisika seperti terkandung dalam metafisikanya Aristoteles yang  walaupun ia telah membacanya berulang-ulang  bahkan sampai menghafalnya ia masih belum bisa memahaminya. Namun hal itu pun teratasi ketika ia membaca ulasan-ulasan al-Farabi tentang metafisika Aristoteles  yang memberikan penjelasan pada bagian-bagian yang dianggap rumit oleh Ibn Sina. Di usianya yang ke delapan belas, Ibn Sina sudah menguasai semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di masanya tanpa terkecuali, sejak saat itu Ibn Sina sudah tidak lagi memperluas pengetahuannya, beliau hanya mendalami pengetahuan yang sudah ia miliki sebelumnya. hal ini tercermin dari perkataannya yang ia ucapkan kepada muridnya, al-Juzjani di penghujug usianya bahwa sepanjang tahun yang telah ia lalui ia telah mempelajari tidak lebih dari apa yang ia ketahui sebagai seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun.[2]
b)      Ontologi
Berbicara masalah status ontologis segala sesuatu, secara otomatis kita akan berbicara masalah hakikat dari sesuatu yang akan kita bahas. Pada hal ini objek pembahasan kita adalah ontologi dari filsafat paripatetik menurut Ibn Sina.  Hakikat sesuatu tergantung pada eksistensinya, dan pengetahuan atas sebuah obyek pada puncaknya adalah pengetahuan terhadap status ontologisnya dalam rangkaian eksistensi universal yang menentukan seluruh atribut dan kualitasnya[3]. Kajian Ibn Sina yang menjadi ciri utama dari seluruh gagasan ontologinya adalah mengenai perbedaan yang sangat mendasar tentang segala sesuatu. Perbedaan itu adalah mengenai kuiditas atau esensi (mahiyah) sesuatu dan eksistensinya (wujud) sesuatu, berikut keniscayaan, kemungkinan, dan kemustahilannya. Namun sebelum kita membahas lebih jauh perihal gagasan ontologinya Ibn Sina, alangkah baiknya kalau kita perjelas dahulu apa yang dimaksud dengan kuiditas (mahiyah) dan eksistensi (wujud). Berbicara masalah kuiditas (mahiyah) biasanya identik dengan pertanyaan apakah sesuatu itu? (ma hiya). Untuk lebih jelasnya kita akan coba untuk membawanya pada perumpamaan. Misalnya, ketika seseorang membayangkan seekor ayam jantan, maka secara tidak langsung orang itu dapat membedakan gagasan tentang ayam jantan tersebut yang meliputi warna, bentuk, dan sebagainya yang disebut sebagai kuiditas (ahiyah) dengan ayam jantan itu sendiri yang ada pada realitas external yang disebut exsistensi (wujud). Di dalam pikiran kuiditas sesuatu tidak terikat dengan eksistensinya artinya bahwa setiap orang dapat memikirkan apapun, kendati apa yang dipikirkan itu tidak ada pada realitas eksternal. Seperti ketika seseorang bisa berpikir tentang manusia yang bersayap, yang pada realitasnya eksternalnya manusia bersayap itu tidak ada. Namun dalam realitas eksternal kuiditas dan eksistensi itu adalah hal yang sama, tak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Artinya bahwa kuiditas dan eksistensi itu bukanlah dua hal yang memiliki realitas eksternal masing-masing melainkan pada realitas eksternal keduanya itu adalah satu komponen yang membentuk satu realitas di dalam realitas eksternal. Dari penjelasan di atas, dapat kita hubungkan langsung  dengan pokok permasalahan yang akan menjadi dasar prinsip (ashl) Ibn Sina adalah tentang pendapat beliau yang menyatakan bahwa eksistensilah yang memberikan realitas pada setiap kuiditas. Walaupun beberapa abad berikutnya, pendapat ini mendapat kritikan keras dari pilosof Suhrawardi yang justru memiliki konsep yang berbeda dengan konsep (ashl) Ibn sina. Dan persoalan ini akan kami bahas pada pembahasan berikutnya seputar Suhrawadi.
Hal lain yang menjadi perbedaan mendasar mengenai kuiditas dan eksistensi dalam sudut pandang Ibn Sina adalah mengenai pemilahan beliau tentang wujud niscaya (wajib), mungkin (mumkin), dan mustahil (mumtani’). Inilah formulasi original dari Ibn Sina yang disepakati oleh para pilosof setelahnya.
1.      Niscaya ( wajib)
Apabila kuiditas tidak dapat dipisahkan dari eksistensinya, namun ketiadaannya adalah hal yang mustahil karena akan menimbulkan kontradiksi itulah disebut dengan wujud niscaya (wajib). Dalam kasus ini, kuiditas dan wujud merupakan hal yang sama, kuiditasnya adalah wujud dan wujud adalah kuiditas. Sesuatu yang dapat kita nisbatkan sebagai wujud niscaya ini adalah tuhan, yang keberadaannya adalah sebuah keharusan, sebab keniscayaannya akan menimbulkan banyak kontradiksi[4].
1.      Mungkin (mumkin)
Apabila kuiditas sebuah objek berhadapan dengan eksistensi dan noneksistensi. Artinya bahwa sesuatu itu bisa ada atau tidak ada tanpa menimbulkan kontradiksi atau kemustahilan, maka sesuatu itu bisa dikatakan sebagai wujud mungkin (mumkin). Banyak hal yang bisa kita nisbatkan pada wujud mungkin ini, seperti manusia, hewan, tumbuhan, dan sebagainya. Bahwa keberadaan atau ketiadaan manusia itu tak akan menyebabkan suatu kemustahilan atau kontradiksi. Ia bisa ada atau pun tidak ada.
1.      Mustahil (mumtani’).
Apabila seseorang melihat kuiditas sebuah objek di dalam pikiran, dan kuiditas tersebut tidak dapat diterima oleh eksistensi dengan cara apapun yaitu kuiditas tersebut tidak dapat eksis karena tidak ada eksistensi yang mampu menerimanya , maka objek tersebut tidak ada atau mustahil ada (mumtani’).
Selanjutnya bahwa Ibn Sina juga membagi wujud mungkin itu sendiri menjadi dua bagian, pertama adalah wujud mungkin yang di dalam dirinya dijadikan wujud niscaya oleh wujud niscaya, dan yang kedua wujud mungkin yang di dalam dirinya tidak dijadikan wujud niscaya oleh wujud niscaya. Hal ini akan kami bahas dalam pembahasan  kosmologinya Ibn Sina pada pembahasan kosmologi.
c)      Kosmologi
Pembahasan kosmologi ini membahas tentang proses bagaimana suatu ketunggalan itu bisa berubah menjadi suatu keragaman, layaknya alam semesta, para malaikat yang beragam itu berasal dari suatu yang tunggal yaitu tuhan. kosmologi melalui sudut pandang Ibn Sina ini sebenarnya sangat berkaitan erat dengan pembahasan angelologi. Maksudnya bahwa malaikat memiliki peran dan signifikansi dalam proses penciptaan. Dengan bersandarkan kepada skema pancaran hierarki malaikat yang berurutan, namun masih dalam koridor kemungkinan dan ketergantungannya sebagai makhluk. Maka dari sinilah Ibn Sina berpandangan bahwa dari yang satu itu hanya mungkin melahirkan satu wujud. Wujud itulah yang disebut akal pertama sebagai pancaran langsung dari tuhan. Dan dari wujud pertama memancarkan akal kedua serta langit pertama, begitu seterusnya hingga sampai akal ke sepuluh dan bumi, dan dari akal ke sepuluh memancarkan segala sesuatu yang ada di bumi. Dikatakan juga bahwa akal pertama itu adalah malaikat tertinggi dan akal ke sepuluh adalah jibril[5]. Ibn Sina juga menggunakan gagasan bahwa melalui inteleksilah proses penciptaan itu terjadi.[6]
Penting juga untuk diketahui bahwa  akal satu itu memiliki dua sifat, pertama adalah sifat al-wajib wujud lighairihi hal ini jika ditinjau dari sifat akal satu sebagai pancaran langsung dari tuhan. Yang kedua adalah mumkin al wujud lidzatihi hal ini jika ditinjau dari hakikat dirinya.[7]
Sebelum masuk pada pembahasan selanjutnya ada baiknya kalau kita membahas terlebih dahulu tentang keterbagian wujud mumkin menjadi dua bagian, yang pertama adalah wujud mumkin yang mengandung sifat niscaya dan wujud mumkin yang sama sekali tidak mengandung sifat niscaya. Wujud mumkin yang pertama ini adalah apa yang kita sebut  malaikat sebagai “akibat abadi” dari Tuhan, artinya bahwa Tuhan menjadikannya sebagai wujud yang niscaya namun tingkat keniscayaan disini berbeda dengan keniscayaan yang ada pada Tuhan.  Wujud mumkin yang kedua ini adalah apa yang kita sebut manusia, hewan, dsbg. Artinya bahwa wujud manusia ini tidak bersifat abadi. Inti perbedaannya adalah bahwa wujud mumkin para malaikat bersifat abadi dan wujud mumkin manusia, hewan, dsbg itu tidak bersifat abadi.
TEORI EMANASI IBNU SINA[8]
                                          Wujud Niscaya (Tuhan)


Akal Pertama                        (al-‘Aql al-Awwal) Malaikat utama

Akal Kedua                         Jiwa/malaikat langit pertama
Tubuh Langit Pertama
Akal  Ketiga                       Jiwa/malaikat langit kedua
Tubuh langit kedua
(bintang-bintang teetap atau tanda-tanda zodiak)
Akal Keempat                       Jiwa/Malaikat langit ketiga
Tubuh langit ketiga
Akal Kelima                        Jiwa/Malaikat langit keempat
Tubuh langit keempat
Akal Keenam                       Jiwa/Malaikat langit kelima
Tubuh langit kelima (Mars)
Akal Ketujuh                      Jiwa/Malaikat langit keenam
Tubuh langit keenam (Matahari)
Akal Kedelapan                     Jiwa/Malaikat langit ketujuh
Tubuh langit ketujuh(Venus)
Akal Kesembilan                    Jiwa/Malaikat langit kedelapan
                                            Tubuh langit kedelapan(Merkuri)
                           Akal Kesepuluh                      Jiwa/Malaikat langit kesembilan                      (Pemberi bentuk/wahib al-shuwar:Malaikat Jibril)
Dunia yang fana               Tubuh langit kesembilan(Bulan)                           (generation and corruption)



Istilah paripatetik atau dalam bahasa Arab masyaiyah sendiri berasal dari zaman aristoteles, yaitu filsafat yang didasarkan pada rasional dan cara pengajarannya adalah sambil berjalan dan mengobrol, ciri dari filsafat ini adalah rasional dan mengedepankan premis mayor dan minor, dan mengatakan bahwa eksistensi (wujud ) lebih penting daripada essensi ( mahiyah) . Dan pada zaman ini banyak ditemukan ilmuwan yang maju diberbagai bidang sains seperti Bapak paripatetik Islam adalah ibnu sina yang mahir dalam bidang obat dan kedokteran. Ibnu Sina terkenal dengan teori akal 10 nya.

2.      Iluminasi (Israqiyah)

Aliran iluminasionis ini didirikan oleh seorang pemikir iran yang bernama Suhrawardi. Mengarah kepada makna Israq itu sendiri yang dijadikan Suhrawardi sebagai sintesis kebijaksanaannya, dimana para pilosof dan ahli sejarah mendefinisikannya dengan definisi yang berbeda. Seperti definisi yang pernah diberikan oleh al-Jurjani dalam Ta’rifatnya yang termashur menyebut  kaum isyraqi sebagai “para filosof dengan Plato sebagai dedengkotnya”[9]. Sementara Ibn Washiyah yang ditetapkan sebagai penulis paling awal dalam dunia islam pernah menggunakan istilah Isyraqi yang ditujukan kepada kelompok orang-orang suci mesir yang merupakan anak-anak saudari Hermes.
Dari definisi yang termaktub di atas dapat kita lihat bahwa para ahli lebih mengaitkan istilah isyraqi ini dengan periode pra-Aristotelian sebelum filsafat murni dirasionalisasikan dan ketika jalan untuk mencapai ilmu pengetahuan masih bersifat intuitif. Maka dari itu Suhrawardi mengikuti definisi kebijaksanaan Isyraqi yang serupa. Yang menunjukkan bahwa landasan epistemologi filsafat Suhrawardi tidak hanya terfokus pada nalar intelektul yang berpusat pada rasional murni sebagaimana yang dilakukan oleh para filosof Paripatetik melainkan juga berporos pada penalaran intelektual intuitif. Seperti ungkapannya yang mengatakan bahwa pemikiran-pemikirannya tidak bisa dihimpun oleh pemikiran dan penalaran, tapi yang lebih berperan besar di dalamnya adalah intuisi intelektual, kontemplasi, dan praktek-praktek asketik.

1.      Biografi sang tokoh Iluminasi
Nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Yahya bin Habasyi bin Amirak al-Suhrawardi, ia sering dikenal sebagai al-maqtul(yang terbunuh) atau syaikh al-isyraq.[10] lahir di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran barat laut dekat Zanjan pada tahun 549 H atau 1153 M.
Suhrawardi menerima pendidikan awalnya dari Majd al-Din al-Jili di Maraghah, kemudian pergi ke Isfahan, yang pada saat itu merupakan pusat pembelajaran yang terkemuka di Persia dan berguru kepada Dhahir al-Din al-Qari. Setelah itu beliau melancong ke Persia menemui berbagai guru sufi. Pada fase inilah ia larut dalam kehidupan yang bernuansa sufistik, melakukan aktivitas pengasingan spiritual dan banyak menghabiskan waktunya untuk dzikir dan meditasi. Perjalanannya terus berlanjut hingga mencapai Anatolia dan Syiria. Sempat juga ia pergi ke Aleppo dan bertemu dengan Malik Dhahir, putera Shalah al-Din al Ayyubi yang biasa dikenal dengan nama saladin. Malik Dhahir yang memiliki kecintaan khusus kepada kaum sufi dan para sarjana kemudian mengundang beliau untuk tinggal di istananya di Aleppo.
Namun sangat disayangkan, kecerdasan intelektual yang diiringi oleh kekuranghati-hatian dalam mengungkapkan doktrin-doktrin esoteriknya dihadapan seluruh audiens membuat  ia dimusuhi oleh para sarjana yang waktu itu didominasi oleh para ahli hukum (ulama’), yang pada akhirnya berakhir atas hukuman yang dijatuhkan padanya oleh saladin yang didasarkan atas permohonan para ahli hukum tersebut dengan alasan bahwa Suhrawardi telah menyebarkan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan keimanan. Akhirnya Suhrawardi pun dijebloskan ke dalam penjara dan meninggal pada tahun 587 H atau 1191 M, tanpa diketahui penyebab khusus dari kematiannya . beliau meninggal pada usia yang masih tergolong muda jika dibandingkan dengan para ahli hikmah sebelumnya  yaitu pada usianya yang ke 38.  Dalam jengkal kehidupannya sang guru iluminasi ini telah menulis hampir lima puluh karya baik dalam bahasa arab maupun persia, yang sebagian besar dari karyanya masih bisa ditemukan hingga sekarang.
1.      Kritik atas filsafat paripatetik
Pembahasan yang menarik tentang pemikiran Suhrawardi ini antara lain mengenai kritikannya terhadap filsafat paripatetik yang sebelumnya pernah dibawa oleh filosof muslim Ibn Sina. Salah satu yang menjadi objek kritikannya terhadap pandangan Ibn Sina dan para filosof aristotelian lainnya adalah mengenai keberadaan segala sesuatu, apakah yang membuat segala sesuatu itu ada eksistensi ataukah kuiditas. Jika menurut sudut pandang Ibn Sina bahwa eksistensilah yang membuat kuiditas itu ada sementara menurut Suharawardi bahwa kuiditaslah yang membuat eksistensi itu ada. Menurutnya bahwa yang memiliki realitas dan merupakan prinsip itu adalah quiditas atau esensi, sementara eksistensi itu hanyalah aksiden yang ditambahkan pada esensi. Pandangan yang mengutamakan esensi dari pada eksistensi ini yang disebut sebagai prinsipialitas esensi (ashalatul mahiyah). Kendati prisnsip ini mendapat kritikan pedas oleh filosof sesudahnya yaitu Mulla Shadra yang menafsirkan seluruh kebijaksanaan isyraqi sesuai dengan pandangan bahwa wujudlah yang merupakan prinsip (ashalatul wujud) bukan mahiyah. hal inilah yang menjadi salah satu objek kritikannya terhadap filsafat paripatetik selain kritikan yang lain atas proses penciptaan yang diusung oleh para filosof paripatetik seperti Plotinus, al-Farabi, dan Ibn Sina.
Sebagaimana telah diuraikan di atas mengenai proses penciptaan yang diluncurkan oleh para filosof paripatetik  yaitu bagaimana dari yang itu melahirkan keberagaman. Tampaknya Syaikh al-Isyraq kurang sepakat dengan konsep emanasi yang hanya dibatasi sampai akal kesepuluh saja. menurut Suhrawardi seharusnya tidak dibatasi hanya sampai akal kesepuluh, melainkan bisa terus dilanjutkan bahkan sampai akal keseratus, seribu, dan seterusnya. Sehingga dari sini Suharawardi menawarkan konsep emanasi yang berbeda seperti apa yang telah ditawarkan oleh para filosof paripatetik. Pada pembahasan ini Suhrawardi memakai istilah cahaya untuk menjelaskan proses penciptaan. Proses iluminasi ini dimulai dari Nur al Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada atau dengan kata lain yang kita sebut sebagai Tuhan, kemudian dari Nur al Anwar ini lahirlah sebuah cahaya yang disebut sebagai nur al-Aqrab. Dinamakan nur al-Aqrab karena kedekatannya pada nur al-Anwar sebagai pusat cahaya dan tidak ada lagi cahaya lain yang lebih dekat melebihi kedekatan yang dimiliki oleh nur al-Aqrab. Kemudia dari nur al-Aqrab ini lahirlah cahaya ketiga, kemudian dari cahaya ketiga muncullah cahaya keempat, dan dari cahaya keempat timbullah cahaya kelima, terus menerus seperti itu hingga melahirkan banyak cahaya. Perlu juga diingatkan bahwa cahaya yang berada di bawah Nur al Aqrab dan seterusnya tetap mendapatkan cahaya dari nur al Anwar walaupun tetap juga mendapatkan pancaran cahaya dari atasnya.


Yang membawa aliran ini adalah Syuhrawardi Al-maqtul, syuhrawardi membawa aliran ini karena melihat banyak ulama yang sibuk dengan masalah keduniawian dan keilmuan di bidang sains dan melupakan agama, maka dengan  teori Israqiyahnya Syuhrawardi mengatakan bahwa yang essensi ( mahiyah) lah yang penting dan eksistensi itu tidak terlalu penting, dan selain dengan logika harus dengan intuisi dan sufi untuk mendapatkan hakikat. Filsafat ilmuninasi terkenal dengan analogi cahayanya.


3.      Transendensi ( Hikmah Mutaaliyah)

Aliran hikmah mutaaliyah ini diusung oleh seorang filosof muslim abad ketujuh belas yang dikenal dengan nama Mulla Sadra. Dengan pemikirannya yang brilian Mulla Sadra akhirnya berhasil mensintesiskan aliran-aliran filsafat sebelumnya seperti, paripatetik, iluminasi, dan irfan yang ia rangkum membentuk satu aliran baru yang dinamakan aliran Hikmah Mutaaliyah. Awalnya Mulla Sadra ini dikelompokkan ke dalam mazhab Isfahani yang dipimpin oleh Mir Damad, namun karena pemikiran Mulla Sadra sendiri yang dianggap melebihi para pemikir mazhab Isfahan, maka beliau pun dimasukkan kedalam mazhab tersendiri yang hingga sekarang disebut sebagai mazhab Hikmah Mutaaliyah.
a) Biografi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim Yahya Qamawi Syirazi, yang kerap kali dipanggil dengan sebutan Mulla Sadra. Dilahirkan di Syiraz pada tahun 979/980 H dan meninggal di Basrah pada tahun 1050 H sewaktu beliau hendak pulang dari ibadah haji[11] Beliau merupakan anak satu-satunya dari seorang gubernur wilayah fars. Dengan fasilitas serta dukungan dari orang tuanya, beliau pun dengan cepat mempelajari serta cepat pula memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti, al-Quran, Hadist, dan berbagai ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Ringkasnya, perjalanan hidup Mulla Sadra ini bisa dipetakan menjadi tiga fase.
1.      Masa pendidikan formalnya di Isfahan.
pada waktu itu Isfahan merupakan kota yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan islam. Dan di sinilah beliau berguru dengan seorang teolog Baha’ al Din al Amili. Kemudian melanjutkan pendidikannya bersama Mir Abu al-Qasm Fendereski seorang filosof paripatetik. Namun guru yang paling utama yang pernah mengajar Mulla Sadra adalah seorang filosof sekaligus teolog yaitu Muhammad atau yang dikenal dengan panggilan Mirdamad. beliau adalah seorang tokoh sekaligus penggagas berdirinya pusat kajian filsafat dan teolog yang hingga kini dikenal sebagai aliran Isfahan.
1.      Masa kezuhudan dan pembersihan jiwa di Kahak
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Isfahan, akhirnya beliau memutuskan untuk hijrah ke daerah kahak sebuah desa pedalaman yang tidak terlalu jauh dari Qum. Di sinilah sang tokoh Hikmah Mutaaliyah ini mulai menjalani kehidupannya sebagai seorang yang zuhud, menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi guna  mendapatkan kesucian hati dan kebersihan jiwa. Sebagian mengatakan bahwa beliau menjalani kehidupannya sebagai seorang yang zuhud selama tujuh tahun, sebagian lagi mengatakan sebelas tahun.[12]
1.      Masa dimana beliau diposisikan sebagai pengajar sekaligus penulis di Syiraz
Berawal dari desakan masyarakat yang meminta beliau untuk menjadi pengajar di Madrasah Allah Wirdi Khan, ditambah lagi dengan Syah Abbas II seorang khalifah dari dinasti Safawi yang mengajukan permintaan yang sama terhadap beliau. akhirnya beliaupun menyanggupinya dan menyulap kota kelahirannya itu menjadi pusat studi ilmu pengetahuan yang terkenal hingga seluruh pelosok Persia yang mengembangkan berbagai cabang ilmu seperti, filsafat, astrologi, fisika, kimia, dan matematika.
b)  Epistemologi
Landasan epistemologi yang digunakan dalam filsafat Hikmah ini sebetulnya tidak terlalu beda dengan landasan epistemologi yang digunakan Suhrawardi dalam filsafat iluminasi. Mulla Sadra juga percaya bahwa jalan untuk mendapatkan pengetahuan itu tidak hanya melalui akal saja melainkan bisa juga ditempuh melalui jalur yang bersifat intuitif (mistik).
Berbicara tentang wahdah Mulla sadra percaya bahwa wujud itu hanya satu, namun yang membedakan satu wujud dengan wujud yang lainnya itu adalah esensi yang dimiliki oleh masing-masing wujud itu sendiri. Menurut prof Mulyadi Kartanegara dalam bukunya gerbang kearifan (73) mengatakan bahwa konsep wahdatul wujud Mulla Sadra ini lebih dekat dengan konsep cahaya yang diusung oleh Suhrawardi. Suhrawardi mengatakan bahwa cahaya pada hakikatnya hanyalah satu, namun yang membedakannya adalah intensitas dari cahaya tersebut. Bagi Mulla Sadra semua wujud itu sama saja apabila dipandang dari sisi kewujudannya, hatta wujud tuhan sekalipun dapat disamakan dengan wujud kerikil jika dipandang dari kewujudannya, namun sekali lagi kami tekankan bahwa yang membedakan wujud satu dengan wujud lainnya itu adalah  berbedanya tingkat gradasi yang dimiliki oleh tiap-tiap wujud.
Kemudian mengenai ashalah  (principality). Menurut  Mulla Sadra menyebut prinsipnya ini dengan ishalat al-wujud yang berbicara tentang keutamaan wujud. Berbeda dengan Suhrawardi yang  mengatakan bahwa yang prinsip itu adalah mahiyah. Mulla Sadra berpendapat bahwa yang prinsip itu adalah wujud. Yang benar-benar real itu adalah wujud, dan mahiyah itu hanya ada dalam pikiran manusia saja tidak benar-benar ada pada benda-benda yang terdapat dalam realitas eksternal. Mulla Sadra memahami betul tentang kritikan yang pernah diberikan oleh Syaikh Israq bahwa sebenarnya yang kita fahami sebagai (wujud) eksistensi  itu sebenarnya adalah mahiyah(esensi). Namun yang dimaksud disini oleh Mulla Sadra adalah wujud sejati yang bukan hanya sekadar konsep atau pemahaman kita tentang wujud. Kalau yang dimaksud oleh Suhrawardi adalah wujud yang berada ditataran konsep maka Mulla Sadra juga sepakat bahwa itu disebut juga sebagai esensi.
Dan yang terakhir mengenai perubaha substantif yang oleh Mulla Sadra disebut dengan safar(perjalanan/pengembaraan). Di dalam kitabnya al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asfar al-Aqliyah al-Arba’ahmenjelaskan tentang perjalanan akal secara lengkap melalui tahapan-tahapan dari ketidaksempurnaan menuju yang maha sempurna.[13] Intinya tahapan-tahapan ini terbagi menjadi empat bagian.
1.      Tahap pertama
Perjalanan pertama adalah dari makhluk menuju hakikat kebenaran atau pencipta. Perjalanan pertama ini menunjukkan pengembaraan dari maqam nafsu ke maqam hati, dari maqam hati menuju maqam ruh, dan dari maqam ruh menuju tujuan terakhir atau bisa juga disebut sebagai tujuan tertinggi (al-Maqshad al-kubra). Setiap manusia pada umumnya melewati ketiga maqam ini, dan apabila manusia telah sampai pada tujuan akhir, maka ia telah menghadapkan wajahnya kepada kehadirat tuhan dan ia fana di dalamnya.
1.      Tahap kedua
Perkalanan kedua adalah dari hakikat ke hakikat dengan hakikat (minal haq ilal haw bil haq). Perjalanan ini  dimulai dari maqam dzat menuju maqam kamalat hingga hadir dalam kesempurnaan tuhan dan mengetahui seluruh nama tuhan. Seseorang yang telah sampai pada maqam ini, dzat, sifat, dan perbuatannya fana di dalam Dzat, sifat, dan perbuatan tuhan. Maka manusia tersebut mendengar dengan Pendengaran Tuhan, melihat dengan Penglihatan Tuhan, dan bertindak dengan Tindakan Tuhan.
1.      Tahap ketiga
Perjalanan ketiga adalah dari hakikat kepada makhluk dengan hakikat. Setelah menempuh perjalanan melalui maqam-maqam, kefana’annya berakhir kemudian ia kekal dalam kekekalan (baqa’) Tuhan. dan berjung pada pengecapan atas nikmat kenabian,walaupun ia bukanlah seorang nabi, dan memperoleh ilmu alam ketuhanan melalui Dzat, sifat, dan Perlakuan Tuhan.
1.      Tahap keempat
Perjalanan keempat adalah dari makhluk ke makhluk dengan hakikat. Seorang yang sudah salik mengamati makhluk dan menangkap kesan-kesan yang ada pada makhluk, baik lahir maupun batin, baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Ia membawa ilmu yang dibutuhkan makhluk, mengetahui mana yang mendatangkan kemudharatan dan yang mendatangkan kebaikan. Dalam kehidupannya ia senantiasa bersama al-Haqq karena wujudnya telah terpaut dengan al-Haqq, serta perhatiannya kepada makhluk tidak akan pernah meduakan perhatiannya kepada Tuhan.

Orang yang membawa aliran ini adalah Mulla Sadra, Mulla Sadra lebih canggih karena menyatukan antara intuisi dan logika sehingga Mulla Sadra mengatakan bahwa wujud itu lebih penting dan wujud itu merupakan aksiden dari essensi. Cara untuk mendapatkan hakikat Mulla Sadra ada 4 cara antara lain maqom ke hadits, hadits ke maqom, maqom ke maqom, hadits ke hadits. Dan teorinya hampir mirip dengan ilmuniasi bahwa yang membedakan mahluk yang satu dengan yang lain tergantung dari gradasi wujudnya. Semakin besar cahaya dari mahluk itu maka semakin besar kemungkinan akan bertemu dengan Tuhan, maka Filsafat Mulla Sadra ini disebut dengan filsafat transendensi karena berjalan menuju kesempurnaan.



ALIRAN-ALIRAN TASAWUF

1.      TASAWUF MALAMATIYYA[14]

Sudah jamak dikalangan para sarjana , terutama mereka uang memiliki perhatian pada dunia tasawuf , bahwa masa keemasan tasawuf telah mencapai puncaknya pada abad 4 H atau  10 M .  M ereka lupa bahwa masa keemasan islam adalah pada masa Nabi Muhammad SAW , terutama pada periode madinah.  Sabda Rasululloh SAW “ sebaik-baik masa adalah masaku”.  Betul bahwa taswuf sebagai ilmu telah mengalami kesempurnaan lahirnya pada abad 4 H.  Tapi tasawuf bukan ilmu,bukan teori, bukan pula wacana melainkan kehidupan hidup hubungan yang intim dengan Alloh SWT.  Atas keintiman tersebut manusia mengalami transformasi dari dari tidak baik menjadi baik, dan dari baik menjadi terbaik.  Bahkan transformasi itu berlangusng tiada batas dan mengekspresikan hasrat yang tak terbendung dalam diri manusia menuju kesempurnaan.  Pengalaman isra mi’raj nabi telah memberi insprasi yang luar biasa terhadap proses perjalanan tiada akhir menuju kepada Alloh SWT , berbagai fenomena keseharian yang dialami rasulullah bersama atau ditengah para sahabatnya merupakan fenomena spiritual yang dapat dinilai sebagai peristiwa-peristiwa supranatural yang pada gilirannya hanya bisa dicapai atau didapatkan oleh mereka yang berjalan tiada henti menuju kesempurnaan.

            Sebutlah misalnya tentang turunnya alquran karena terlalu populer sehingga tidak ada perenungan .  menurut sejarawan mesir modern, Husain Mu’nis peristiwa turunnya wahyu kepada nabi Muhammad SAW adalah peristiwa yang luar biasa sebab proses tersebut sesungguhnya memperlihatkan secara rinci bagaimana seorang manusia biasa berproses menjadi nabi dan rasul.  Dan menerima wahyu .  serta membahasakan kalamullah .  termasuk peristiwa perang badr yang juga merupakan sebuah peristiwa supranatural yang berdimensi keunggulan dimensi spiritualisme, diriwayatkan , ditengah kecamuk perang setiap kali tentara muslim patah pedangnya mereka kembali kepada pos Rasululloh SAW dan beliau memberikan apa saja, tongkat, atau tangkai kayu yang tiba-tiba berubah menjadi pedang, dalam berbagai riwayat hadis dirinci betapa alam sekitar merespon setiap kali ayat-ayat alquran diturunkan.
            Pandangan ibnu khaldun terhadap fenomena sufisme abu Abd Rahman al-sulami hendak ditegaskannya dalam thabaqat al-sufiyah-nya.  Menurut ibnu khaldun, fenomena sufisme merupakan kesinambungan tradisi nabi yang terpelihara secara turun-temurun dari generasi awal. merupakan mainstream islam semenjak masa awalnya orang-orang kemudian terpengaruh oleh gemerlapnya dunia.  Al-Thusi dalam luma’ juga menceritakan hal yang sama,  bahwa sufisme berubah menjadi kaum minoritas tatakala mainstream umat islam sudah hanyut bergelimang keduniaan.
            Pada pengantar thabaqatnya Sulami menjelaskan bahwa para awliya merupakan penerus tradisi para nabi dan rasul .  karena itu alloh tidak membiarkan dunia tanpa ada yang menunjuki umat kejalan Alloh.   dan para pembawa petunjuk tersebut bertingkat-tingkat derajatnya.  Diantara karya Sulami yang paling berarti bagi thabaqat adalah risala malamatiyya.  Bahkan ajaran tasawuf yang diuraikan melalui ungkapan yang pernyataan 105 tokoh dalam thabaqat pada umumnya mempraktekan ajaran-ajaran yang diuraikan oleh Sulami dama risala al-malamatiyya.

AJARAN MALAMATIYYA DALAM RISALA SULAMI:ANALIS TEKSTUAL

Berikut analis ajaran malamatiyya sebagaimana diuraikan Sulami(w. 413 H) dalam karyanya risalah al-malamatiyya, khususnya dasar pemikiran dan wilayah penerapannya. empat aspek akan menjadi fokus perhatian:
1.      Prinsip-prinsip dasar pemikiran malamatiyya
2.      Pandangan malamatiyya tentang al-nafs (nafs amarra bissu’)
3.      Metodologi malamatiyya dalam pendidikan spiritual dan perilaku
4.      Malamatiyya dan kode etiknya(adab)
Ia menempatkan malamatiyya pada tingkatan yang tertinggi ,ia mencatat “karena mereka ditempatkan oleh Alloh pada posisi kebersatuan(jam’) , kedekatan(al-qubra), keintiman (al-uns), dan hubungan tak berujung (wusla), Alloh telah mengambil mereka kepada-Nya.  Alloh membiarkan mereka muncil diantara orang-orang , sementara pada saat yang sama kesadaran mereka pada Allah berkesinambungan “ Sulami menyatakan “ini adalah tahap ditinggikan (ahwal) , dimana apa yang dalam batin tidak muncul pada lahiriyah”. [15]
            Abu hafs berkata kepada utshman “berada ditengah masyarakat adalah kembali dari Allah kembali kepada mahluk-Nya, maka periksalah siapa kau sesungguhnya” .  pernyataan abu hafs tidak lantas menjadikan malamatiyaa menganut sikap isolasi diri,melainkan justru menuntut kesadaran penuh disaat , agar tetap mempertahankan hubungan yang tak berkesudahan dengan Allah, bahkan setelah mencapai tingkat tertinggi pada jalan spiritual .  untuk mencapai tujuan ini harus menganggap diri sendiri sebagai diri yang tercela. oleh karena itu, maka laum,malamah , mencela diri sendiri merupakan suatu cara pendidikan dalam perjalanan spiritual.
 Tentang pentingnya konsep menyalahkan diri , sulami mengutip prinsip malamati bahwa dengan menimbulkan celaan seseorang akan terus menanjak(taraqqi) dari suatu tahap ketahap yang lainnya, hingga kesaran terdalam(sirr) mencapai tahap pencerahan (nur) tanpa disadari oleh hati (qalb) .  sebaliknya , dari tahap jiwa menyentuh hati tanpa terpengaruh sifat-sifat baawaan (tab’).  Dan dalam tingkatan itu akan mukasyafa terlahir dalam kesadaran terdalam(sirr) sedangkan ruh tidak lagi mengandalkan hati ataupun jiwa sama sekali.  Lebih lanjut sulami menjelaskan untuk menghindarkan ancaman jatuh dari taraf sidiqqin ketulusan sejati sang malamati menjaga kesadaran diri dengan tetap mencela dan melihat kekurangan-kekurangannya agar tulus melampaui godaan-godaan hawa nafsunya.
            Dalam konsep al-junaid seorang sufi dari baghdad tahap ini disebut dengan al-hirah, taraf kaannaka narahu, menarik untuk dicatat bahwa pada tahap mukasyafah kemampuan untuk melihat realitas sejati ada dua yakni dengan kepala sendiri dan dengan memperoleh pencerahan dan memeperoleh pencerahan yang memberi kemampuan untuk melihat sesuatu dalam dimensi transendentalnya. ini merupakan visi empirik.

METODE MALAMATIYYA

Ada tiga metode yang sangat mendasar bagi malamatiyya dalam pemdidikam spiritual dan perilaku, yakni:
1.      Berpaling dari nafs amarrah untuk mengobati penyakit-penyakit jiwa seperti , kesombongan, kebodohan, keangkuhan dll
2.      Selalu menentang keinginan dari diri sendiri demi menjaga konsistensi dan kedisiplinan
3.      Terus menerus menyalahkan diri sepanjang tergoda oleh nafs amarrah demi mempertahankan kebersamaan dengan Tuhan.


            Seorang sahabat Abu hafs mengatakan”aku diperintahkan oleh Abu hafs untuk beraktifitas di pasar dan mencari nafkah, tetapi tidak membolehkan aku membeli makan dari hasil dagang dipasar tersebut, malah menyuruhku untuk menyumbangkan semuanya kepada fakir miskin , untuk kebutuhan makanku aku diperintahkannya untuk mengemis. orang-orang kemudian pada protes, sepanjang hari  beraktifitas dipasar malah mengemis untuk makannya .  begitu mereka mengetahui bahwa yang aku lakukan adalah perintah Abu Hafs mereka kemudian ramai-ramai menyumbang makanan  untukku.  Abu hafs lalu memintaku aku berhenti mengemis”.[16]
            Makna yang difahami dari ilustrasi tersebut adalah bukan sejauh mana seseorang berhasil menghinakan diri melainkan sebesar apa nafs amarrah tidak lagi memepengaruhi jiwa dan kesadaran ego? Adakah jiwa menjadi lebih tenang karena kecenderungan-kecenderungannya terpenuhi oleh godaan-godaan hawa nafsu? Tapi apakah ini tidak berarti bahwa malamatiyya telah terjebak kedalam paradox dimana memusatkan kepada jiwa yang seharusnya dihindari? Pertanyaan ini dimunculkan oleh hakim tirmidhi yang sepertinya merupakan protes kesar terhadap metode nisapur. seperti yang dikutip sara sviri hakim mepertanyakan “jika orang harus memusatkan perhatian pada pengetahuan mengenai seluk beluk jiwa maka ia tidak akan pernah membebaskan diri, jika orang sibuk mengurus kekurangan-kekurangan jiwa maka sepanjang hidupnya hanya perjuangan membebaskan diri dari jiwanya.

                       
KODE ETIK (ADAB ) MALAMATIYYA

1.      Ikhlas dalam kejujuran dan jujur dalam keihlasan

Para malamatiyya kepada beribadah dimuka umum tidak ada ada perbedaan dengan muslim biasa, sholatnya juga tampak normal tidak terlalu tampak lama, begitu juga dan zikirnya tampak wajar-wajar saja.  Tetapi ketika dirumah atau ditempat sunyi, mereka melakukan ibadah lebih khusyuk dan lebih tekun dan lebih intens.  Mereka melakukan ibadah lainnya seperti sodaqoh dengan cara tersembunyi dan  takut tercampu riya’. semuanya dilakukan semata karena keikhlasannya sudah mencapai tataran yang sangat tinggi.  Inilah kelompok malamatiyyah sejati , berlawanan dengan kelompok awam yang tampak khusyuk dimesjid atau didepan banyak orang,tapi malas ogah-ogahan ketika berada dirumah dan sendirian.


2.      ANTI KEMAPANAN
AL harits ibn Asad Al muhasisbi mengatakan “kamu dapat mengidolakan Alloh jika kamu melihat keagungan dan begitu dahsyatnya nikmat yang di anugerahkan Allah kepadamu.  Semakin kamu mensyukuri semakin kecil pula kamu dihadapan Allah”.  Jika mereka merasakan pada dirinya ada kecenderungan riya pada dirinya maka mereka melakukan perbuatan yang dapat mengundang penghinaan orang seperti yang dilakukan oleh Abu yazid Bustani ketika orang-orang mengelu-elukannya tapi merasa tidak nyaman maka iapun makan siang dihadapan mereka padahal sedang berpuasa romadlon.  Masyarakat kemudian memaki-maki dan mengihna-hinakan
AL-IETSARI
Prinsip ini didasarkan kepads Qs,59:9 dimana Alloh memuji sikap penduduk asli Madinah yang menerima kedatangan kaum Muhajirin , para pendatang, yang memperlihatkan sikap mendahulukan kepentingan saudara dan kawan daripada kepentingan diri sendiri, prinsip ini menciptakan sikap futuwah sebagai yang digambarkan QS.  18:13 yakni ashabul kahf yang hatinya terbuka satu sama lain, simbol kebersamaan yang prima.


FUSUSH AL-HIKMAH[17]

            Fusush al-hikam dibuat oleh Ibnu Arabi walau disana disebutkan bahwa bahwa fusush al-hikam adalah buatan nabi Muhammad SAW.  Diceritakan dalam kitab tersebut bahwa Ibnu Arabi bermimpi dan bertemu dengan Rasululloh Muhammad SAW kemudian nabi memeberikan suatu kitab, dan kitab itu adalah fusush al-hikam didalam mimpinya nabi Muhammad SAW menyuruh untuk meneyebarkan kitab itu untuk disebarkan kepada umat, dan diamalkan.   kemudian Ibnu Arabi membuatnya walaupun dia mengklaim bahwa kitab fusush al-hikam adalah dari Alloh dan diperantarai oleh nabi Muhammad SAW yakni ilmu yang langsung Alloh turunkan kepada Ibnu Arabi tanpa perantara seperti halnya hadits yang ada periwayat atau sanadnya ketika di awal hadits harus ada “an an “ nya namun disini disebut dengan “ilmu laduni” yaitu ilmu yang berasal dari Alloh langsung tanpa ada perantara dari orang lain.
            Didalam fusush al-hikam diceritakan bahwa hikmah ini diperuntukan bagi yang mengkaji tentang tasawuf walaupun Ibnu Arabi sendiri menerangkan fiqih dari luarnya (dzahirnya) contohnya Ibnu Arabi menerangkan tentang wudlu itu dengan air namun lebih daripada itu kita harus bersih dzahir atau  badan dan juga bersih hati.   untuk apa kita bersih badan tapi hati kita kotor dan kita korupsi atau melakukan kejahatan seperti yang lainnya,berarti kita melakukan suatu pekerjaan yang sia-sia.  Kita solat tapi solat kita tidak mencegah kepada yang batil dan kepada yang diharamkan dan dilarang oleh Alloh berarti ibadah dan solat kita hanya sebatas kepada gerakan tubuh saja tanpa adanya gerakan hati dan tidak ada amal dan dampak bagi kehidupan sehari-hari kita.
           
INSANUL KAMIL[18]

           Nama lengkapnya ialah ’Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Ia mendapatkan gelar kehormatan ”syaikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar ”Quthb al-Din” (kutub/poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan Al-jili karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher mengatakan, penisbatan itu bukan pada Jilan, tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Baghdad”jil’. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, karya-karya menurut kami masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:
            Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail, Buku ini adalah bukunya yang paling poluler. Karya ini tersebar di Dar  al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, beberapa kali diterbitkan maktabah shabihy dan mushthafa al-Babi al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.Buku ini mengupas dengan mendalam konsep insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
1.      Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah, Buku ini merupakan antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli
2.      Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim, Buku ini merupakan kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-Qur’an—al-Jilli, di dalam karya ini menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.4. Lawami’ al-Barq
3.      Maratib al-Wujud, Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba’in Maratib.
4.      Al-Namus al-Aqdam, Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.



TEORI EMANASI SUHRAWARDI

C.     ALIRAN IRFAN (Tasawuf)
Di tengah khalayak pada umumnya, aliran Irfan biasa dikenal sebagai aliran tasawuf dan para pelakunya disebut sufi. Berbeda dengan filsafat yang bertumpu pada penalaran rasional, sementara tasawuf bertumpu pada pengalaman mistik yang bersifat supra-rasional. Jauh sebelum kelahiran Syaikh Isyraq pembahasan tasawuf dibedakan dengan pembahasan filsafat, seperti pada masa Ibn Rusy dan sebelumnya. Namun pada masa Suhrawardi, sudah mulai terlihat adanya upaya untuk menyatukan kedua hal tersebut. dibuktikan dengan pemikiran filosofisnya yang tidak hanya dibangun atas usaha-usaha rasional semata tapi juga melibatkan usaha-usaha intuitif.
      Seperti yang sudah kami singgung di atas bahwa kaum sufi mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu melalui pendekatan-pendekatan intuitif atau yang bersifat perenungan, dan pendekatan ini bertumpu pada hati. Sangat berbeda dengan para filosof yang mendapatkan pengetahuan mereka melalui pendekatan-pendakatan rasional yang bertumpu pada akal atau rasio. Menurut kaum sufi perolehan pengetahuan yang didapatkan melalui pendekatan intuitif sangat berbeda dengan pendekatan rasional, karena dengan menggunakan metode pendekatan intuitif ini seseoran g dapat langsung mengetahui objek pengetahuan tanpa harus melewati perantara. Artinya bahwa dengan cara ini kaum sufi bisa melihat realitas pengetahuan yang diinginkan tanpa adanya sekat-sekat yang  membatasi mereka. Sementara para filosof yang menggunakan pendekatan rasional dalam mencapai pengetahuan akan terhambat oleh sekat-sekat yang harus diterima oleh akal itu sendiri sebagai poros dari kegiatan rasional. Sesuai dengan pertanyaan yang dimunculkan oleh sufi agung jalaluddin rumi,” bisakah anda menyunting mawar dari M.A.W.A.R ?”[19] maksudnya adalah bahwa para filosof bisa memahami bunga mawar itu dengan mengetahui terlebih dahulu huruf-huruf yang digunakan untuk menyusun kata mawar, sementara kaum sufi bisa langsung mengetahui bunga mawar tanpa harus mengetahui nama dari bunga mawar tersebut. sama halnya juga dengan “cinta” walaupun sudah banyak para ahli yang mencoba untuk mendifinisikannya, namun tetap saja seseorang tak akan pernah mengerti arti cinta yang sesungguhnya ketika ia belum merasakan sendiri rasanya jatuh cinta. Begitu juga dengan pengetahuan sejati, tak akan pernah bisa dipahami dengan benar apabila seseorang tidak mencoba untuk melihat pengetahuan itu sendiri (mengalami). Pendekatan seperti inilah yang disebut oleh ahli sufi sebagai pendekatan intuitif, yang terkadang juga sering disebut sebagai ilmu laduni atau ilmu huduri (ilmu yang diperoleh secara langsung). Jadi kesimpulannya bahwa kaum sufi lebih mengandalkan hati sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan ketimbang akal.
Untuk membahas kajian Irfan ini lebih jauh lagi, kami akan mengambil satu tokoh yang sekiranya dapat mewakili pemikiran tokoh-tokoh sufi lainnya yaitu Ibn Arabi. Ibn Arabi ini merupakan seorang Sufi agung yang dikenal melalui konsep wahdat al wujudnya.
1.      Biografi Ibn Arabi
Abu Bakar Muhammad bin al-Arabi al-Hatimi al-Tha’i atau yang biasa di panggil Ibn Arabi, dilahirkan di Murcia, Spanyol Selatan pada tahun 560 H/1165 M. Beliau lahir dari rahim seorang wanita asli arab yang berasal dari Suku Tha’i. Di tengah masyarakat beliau juga dikenal dengan panggilan Syeikh al-Akbar (guru teragung) atau Muhy al-Din(penghidup agama). Setelah menghabiskan tahun-tahun awalnya di Murcia, beliau pun hijrah menuju Sevilla tempat ia tumbuh dan menerima pendidikan awalnya. Pada periode awal kehidupannya beliau bertemu dengan dua wali perempuan yaitu yasmin Mursyaniyah dan Fathimah al-Qurthubiyah, kedua figur ini lah yang memberikan pengaruh yang kuat atas orientasi kehidupannya. Terutama kepada Fatimah yang sudah ia anggap sebagai ibu spritual baginya, yang terus menjadi pembimbingnya selama dua tahun. Sebagai seorang pemuda yang jenius, memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, serta memiliki penglihatan spritual yang tajam, Ibn Arabi mulai melakukan rihlah ke berbagai kota di Andalusia dan bertemu dengan para wali. Dikatakan juga bahwa beliau pernah bertemu dengan Ibn Rusyd salah seorang filosof yang namanya lebih dikenal di dunia barat.
1.      Ontologi
Sebagaimana yang telah saya ungkit di atas, bahwa Ibn Arabi itu dikenal dengan konsep wahdat al wujud-nya . yang artinya bahwa wujud sejati itu hanyalah satu Dia lah Allah, Tuhan alam semesta, sumber segala kebenaran. sementara alam hanyalah manifestasi dari wujud sejati yang di dalam dirinya tidak memiliki wujud sebagaimana wujud sejatinya Tuhan.
Hubungan wujud sejati dengan alam biasanya beliau gambarkan dengan “gambar wajah” yang muncul dari sebuah cermin. Sesuai dengan perkataan beliau,”wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, artinya bahwa wajah sejati tuhan itu terpantul dalam ribuan cermin. Keberagaman model dari pantulan tersebut tergantung kualitas dari kaca yang memantulkan wujud sejati. Hingga dari sinilah muncul berbagai macam bentuk makhluk yang tercipta dari pantulan wajah tuhan yang semuanya berbeda karena kualitas kaca yang memantulkan juga berbeda. Bisa kita ambil contoh ketika kita memasuki rumah kaca yang setiap sudutnya penuh dengan kaca yang berbeda dari segi kualitasnya, ketika kita memasuki rumah tersebut tentu kita akan menyaksikan banyaknya bayangan kita yang terlihat dengan bentuk yang berbeda-beda tergantung jumlah kaca yang terdapat dalam rumah tersebut. oleh karenanya kebinekaan yang ada di alam semesta ini seharusnya tidak mengelabui pandangan kita, bahwa masing-masing dari mereka memantulkan wajah tuhan, maka dimanapun kita menghadapakan wajah, maka disitulah kita akan menemukan wajah tuhan. Dan keberadaan alam semesta ini sangat bergantung kepada kehadiran tuhan. Karena jikalau tuhan menarik kehadirannya, maka alam semesta ini pun akan lenyap, sebagaimana lenyapnya bayangan kita ketika kita menghindar atau menjauhkan diri dari kaca tersebut.
Bagi Ibn Arabi, kehadiran tuhan itu begitu jelas, bahkan terlalu jelas untuk kita sadari. Sebagaimana kelalawar yang tak bisa melihat matahari bukan karena matahari itu tidak ada, melainkan karena cahayanya yang terlalu terang sehingga membuat kelalawar kesulitan untuk melihatnya.
1.      Kosmologi
Konsep kosmologi yang ditawarkan oleh Muhy al Din ini sangat berbeda dengan konsep yang pernah ditawarkan oleh para dilosof paripatetik dan iluminasi. Ibn Arabi mengatakan bahwa segala yang ada di alam semesta ini hanyalah manifestasi tuhan, yang tidak akan mungkin ada tanpa keberadaan

TEORI MANIFESTASI IBN ARABI[20]

Bagan di atas menggambarkan bahwa segala sesuatu yang tercipta itu adalah manifestasi Tuhan yang tidak akan mungkin ada tanpa keberadaannya. Seperti akal pertama merupakan manifestasi awal dari Tuhan, kemudian disusul dengan jiwa universal disambung dengan tabiat universal, begitu seterusnya hingga mencapai tahapan manusia yang menyimbolkan manifestasi yang paling sempurna dari Dzat yang maha sempurna. Dalam konsep kosmologi yang ditawarkan oleh para filosof menyebutkan bahwa alam fisik adalah emanasi terendah dari Tuhan, beda halnya dengan kaum sufi yang menempatkan keberadaan Tuhan di setiap manifestasi yang ada.









DAFTAR PUSTAKA
Drajat Amroeni. 2005. Suhrawardi:kritik falsafah paripatetik, Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara
Nasr Seyyed Hossein.2006Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, Gowok Jogjakarta: IRCiSoD
Kartanegara Mulyadi.2006.Gerbang Kearifan, Jakarta: Lenteng Hati
Zar Sirajudin. 2004. Filsafat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nasution Hasyimsyah. 2002. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
 lingkarpenadamayana.wordpress.com diunduh pada 31 Agustus 2014








[1]Lihat  Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik falsafah paripatetik, hlm.75

[2]Lihat Seyyed Hossein Nasr,  Tiga Aliran Filsafat Islam, hlm.46
[3]Lihat Seyyed Hossein Nasr,  Tiga Aliran Filsafat Islam, hlm.52
[4]Sebagaimana pembuktian tentang keberadaan tuhan yang telah dibuktikan oleh banyak filosof dengan berbagai dalilnya, bahwa tuhan itu harus ada sebagai penyebab utama atas keberadaan alam semesta.
[5]Lihat Amroeni Drajat,  Suhrawardi kritik atas falsafah paripatetik, hlm.129
[6]Hierarki akal dan jiwa serta persoalan-persoalan umum kosmologi dibicarakan paling rinci  dalam bagianmetaphysics dari shifa’ ( Tehran, 1303), hlm 618ff.
[7]Lihat Amroeni Drajat,  Suhrawardi kritik atas falsafah paripatetik, hlm.129
[8]Lihat Mulayadi Kartanegara, gerbang kearifan, hlm.40-41
[9]Lihat Sayyed Hossein Nasr, tiga aliran filsafat islam,hlm.114
[10]Lihat Sayyed Hossein Nasr, tiga aliran filsafat islam,hlm.102
[11]Lihat Dr.Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,hlm.167
[12]Lihat Dr.Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,hlm.168
[13]Lihat Dr.Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,hlm.175
[14]Seminar Tasawuf Malamatiyya karya Al-Sulami
[15]Seminar tasawuf STFI SADRA Jakarta
[16]Abu hafs berbicara
[17]Seminar Tasawuf Nusantara STFI SADRA Jakarta pemateri Frop. Dr.  Kautsar Noer
[18]Seminar Tasawuf Nusantara dari kitab Insanul Kamil karya Abdul Karim Al-jili
[19]Lihat Mulyadi Kartanegara, Gerbang kearifan, hlm.58
[20]Lihat Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, hlm.66

0 komentar:

Post a Comment

 
;