ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT ISLAM
2.4. Aliran- aliran Filsafat Islam
Kita mungkin telah
tahu bahwa zaman modern sekarang ini di dominasi oleh filsafat Barat dan
filsafat materialisme, sesuatu di nilai dengan materi yaitu dengan uang. Zaman
sekarang ini orang dibagi menjadi beberapa bagian :
1.
Ada orang
yang tahu dan merasa bahwa mereka telah mengikuti filsafat Barat dan mengikuti
kebudayaan Barat, bahwa kebudayaan Barat merupakan suatu kebudayaan yang lebih
maju daripada Islam. Sehingga dalam hidupnya mereka habiskan untuk
berfoya-foya, makan ke Resaturant, jalan-jalan, mabuk-mabukan ke Bar, main
wanita dan hal-hal lain yang membuat diri kita senang dengan materi dan
terpuaskannya hasrat nafsu kita dan melupakan Tuhan. Datang untuk kerja jam 6
pagi, pulang sore untuk mampir ke Bar untuk mabuk-mabukan dan senang-senang dan
diakhiri di Rumah, begitulah siklus yang mereka lakukan tiap harinya tanpa
merasa bersalah, padahal hati mereka merasa sepi dan ada yang hilang dalam diri
mereka, yaitu Tuhan.
2.
Sebagian
yang lain tidak merasa masuk dalam kebudayaan Barat dan kebiasaan-kebiasaan Barat
tapi setiap tingkah laku mereka mencerminkan kebudayaan dan kebiasaan Barat,
seperti : belanja ke mall, menjadi seorang konsumerisme. Orang Islam menjadi
seorang konsumen dan orang Barat/ Selain Islam menjadi produsen, kita memakan
dan mengkonsumsi produksi dari selain Islam. Pertanyaannya? Jika produksi dari Barat
itu bagus dan halal itu boleh saja, tapi jika ada pencampuran dan ada niat
buruk dibalik itu kita tidak bisa mengelak. Imam Al-Chumanei mengatakan “pada
zaman nanti akan ada yang namanya perang kebudayaan, perang ini tidak disadari
tapi sangat membahagiakan orang yang dikenainya”. Mungkin pernyataan
Al-Chumanei itu tercermin dengan apa yang terjadi sekarang.
3.
Orang yang
tahu dan menjauhi dari budaya Barat tersebut, mereka tahu bahwa freesex itu
dilarang, mabuk dan hal-hal yang lain itu dilarang Islam dan bukan termasuk
kedalam kebudayaan Islam.
Jadi, sebagai seorang
muslim pada zaman modern ini kita harus pintar-pintar memfilter/ menyaring
hal-hal yang masuk dari luar dan akan merusak aqidah kita.
Selain akan merusak
aqidah kita, akan merusak keamanan dan kestabilan yang ada di negara kita. Ada
yang menyebutkan bahwa ada dua hal yang menjadi kekuatan dalam ketahanan
nasional.
1.
Hard power
.
Yaitu ketahanan nasional kekuatan
kasar, disini berarti kekuatan dari
militer dan senjata-senjata yang canggih yang dipunyai negara kita. Namun,
lebih daripada itu ada yang lebih kuat dari pada hard power yaitu
2.
Soft
power.
Yaitu kekuatan yang lembut dan
tidak terlihat , namun sangat kuat. Salah satunya adalah kekuatan kebanggan
kepada diri sendiri, agama, dan negara kita. Contohnya negara Israel yang
bangga dan mengaku sebagai keturunan nabi dan bangsa terpilih, Amerika yang
sangat nasionali dan patriotis, Iran bangga dan mengaku sebagai keturunan
Salman Al-farisi negara tersebut bangga akan negaranya sendiri dan menjadi
negara yang maju dan bisa dibanggakan diseluruh dunia. Jika bukan kita yang
membanggakan negara kita lantas siapa lagi? Jika diri kita sendiri tidak
bangga, mana mungkin negara lain mau bangga dengan negara kita.
Saya akan menjelaskan fungsi
filsafat bagi kelangsungan sebuah peradaban, karena saya sekolah di sebuah
sekolah yang berbasis negara Iran. Maka saya akan memaparkan kenapa Iran bisa
tetap maju ketimbang negara yang lain salah satunya adalah karena faktor
filsafat Islam, disini saya akan menjelaskan fungsi dari 3 filsafat Islam yang
paling mendasari pertumbuhan peradaban di Iran yaitu filsafat paripatetik yang
berasal dari buah pikiran dari Ibnu Sina, kemudia Syuhrawardi yang dikenal
dengan filsafat Iluminasi dan filsafat Transendensi atau dikenal dengan Hikmah
Mutaaliyah, saya akan menjelaskan satu persatu :
1.
Paripatetik
Istilah paripatetik
muncul sebagai sebutan bagi para pengikut Aristoteles. Paripatetik sendiri
berasal dari bahasa Yunani “paripatein” yang berarti berkeliling,
berjalan-jalan berkeliling. Kata ini juga menunjuk pada suatu tempat, beranda
dari peripatos. Dan dalam tradisi Yunani, kata ini mengacu pada suatu tempat
yang biasa digunakan oleh Aristoteles untuk mengajar sambil berjalan-jalan.[1] Dalam
tradisi filsafat islam paripatetik disebut dengan istilah masysyaiyyah yang
diambil dari kata masya-yamsyi-masyyan wa timsyaan yang juga memiliki arti
berjalan atau melangkahkan kaki dari satu tempat ketempat yang lainLanjutkan
Membaca.
Terdapat beberapa ahli hikmah baik yang islam maupun non islam yang
dikelompokkan sebagai para filosof paripatetik. Dikatakan sebagai filosof
paripatetik dikarenakan oleh landasan epistemologi yang digunakan bagi
filsafat mereka berdasarkan rasional murni yang tersusun dari premis minor dan
premis mayor yang telah disepakati. Para filosof tersebut antara lain Plato,
Aristoteles, Plotinus. Sementara dari dunia islam antara lain al-Kindi,
al-Farabi, dan Ibn Sina yang kebetulan menjadi wakil para filosof paripatetik
sebelumnya, serta pemikirannya yang menjadi objek pembahasan kami pada makalah
ini.
a) Ibn Sina
Abu Ali Hussein ibn
Abdullah ibn Sina, yang di Barat dikenal dengan nama Avicenna dilahirkan pada
tahun 370 H / 980 M di Afsyana dekat Bukhara, dan meninggal di Hamadan pada
tahun 428 H/1037 M. Di Timur ia dikenal sebagai Hujjat
al-Haqq (bukti sang Tuhan/kebenaran), Ia terlahir dari keluarga
yang menganut paham isma’iliyah. Sejak usia dini, Ibn Sina sudah menunjukkan
bakatnya yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan
ayahnya yang selalu memperhatikan pendidikannya . di usianya yang kesepuluh,
Ibn sina sudah menguasai keseluruhan al-Qur’an dan tata bahasa, dan sudah mulai
mempelajari logika dan matematika. Setelah menguasai logika dan
matematika, ia pun segera beranjak untuk mempelajari fisika, metafiska,
dan kedokteran kepada Abu Sahl al-Masihi. Di usianya yang ke enam belas ia
sudah mahir dalam semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di masanya
kecuali metafisika seperti terkandung dalam metafisikanya Aristoteles
yang walaupun ia telah membacanya berulang-ulang bahkan sampai
menghafalnya ia masih belum bisa memahaminya. Namun hal itu pun teratasi ketika
ia membaca ulasan-ulasan al-Farabi tentang metafisika Aristoteles yang
memberikan penjelasan pada bagian-bagian yang dianggap rumit oleh Ibn Sina. Di
usianya yang ke delapan belas, Ibn Sina sudah menguasai semua cabang ilmu
pengetahuan yang berkembang di masanya tanpa terkecuali, sejak saat itu Ibn
Sina sudah tidak lagi memperluas pengetahuannya, beliau hanya mendalami
pengetahuan yang sudah ia miliki sebelumnya. hal ini tercermin dari
perkataannya yang ia ucapkan kepada muridnya, al-Juzjani di penghujug usianya
bahwa sepanjang tahun yang telah ia lalui ia telah mempelajari tidak lebih dari
apa yang ia ketahui sebagai seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun.[2]
b) Ontologi
Berbicara masalah
status ontologis segala sesuatu, secara otomatis kita akan berbicara masalah
hakikat dari sesuatu yang akan kita bahas. Pada hal ini objek pembahasan kita
adalah ontologi dari filsafat paripatetik menurut Ibn Sina. Hakikat
sesuatu tergantung pada eksistensinya, dan pengetahuan atas sebuah obyek pada
puncaknya adalah pengetahuan terhadap status ontologisnya dalam rangkaian
eksistensi universal yang menentukan seluruh atribut dan kualitasnya[3]. Kajian Ibn Sina yang menjadi ciri utama dari seluruh gagasan ontologinya
adalah mengenai perbedaan yang sangat mendasar tentang segala sesuatu.
Perbedaan itu adalah mengenai kuiditas atau esensi (mahiyah) sesuatu
dan eksistensinya (wujud) sesuatu, berikut
keniscayaan, kemungkinan, dan kemustahilannya. Namun sebelum kita membahas
lebih jauh perihal gagasan ontologinya Ibn Sina, alangkah baiknya kalau kita
perjelas dahulu apa yang dimaksud dengan kuiditas (mahiyah) dan eksistensi
(wujud). Berbicara masalah kuiditas (mahiyah) biasanya identik dengan
pertanyaan apakah sesuatu itu? (ma hiya). Untuk
lebih jelasnya kita akan coba untuk membawanya pada perumpamaan. Misalnya,
ketika seseorang membayangkan seekor ayam jantan, maka secara tidak langsung
orang itu dapat membedakan gagasan tentang ayam jantan tersebut yang meliputi
warna, bentuk, dan sebagainya yang disebut sebagai kuiditas (ahiyah) dengan ayam jantan itu sendiri yang ada pada
realitas external yang disebut exsistensi (wujud). Di dalam
pikiran kuiditas sesuatu tidak terikat dengan eksistensinya artinya bahwa
setiap orang dapat memikirkan apapun, kendati apa yang dipikirkan itu tidak ada
pada realitas eksternal. Seperti ketika seseorang bisa berpikir tentang manusia
yang bersayap, yang pada realitasnya eksternalnya manusia bersayap itu tidak
ada. Namun dalam realitas eksternal kuiditas dan eksistensi itu adalah hal yang
sama, tak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Artinya bahwa
kuiditas dan eksistensi itu bukanlah dua hal yang memiliki realitas eksternal
masing-masing melainkan pada realitas eksternal keduanya itu adalah satu
komponen yang membentuk satu realitas di dalam realitas eksternal. Dari
penjelasan di atas, dapat kita hubungkan langsung dengan pokok
permasalahan yang akan menjadi dasar prinsip (ashl) Ibn Sina
adalah tentang pendapat beliau yang menyatakan bahwa eksistensilah yang
memberikan realitas pada setiap kuiditas. Walaupun beberapa abad berikutnya,
pendapat ini mendapat kritikan keras dari pilosof Suhrawardi yang justru
memiliki konsep yang berbeda dengan konsep (ashl) Ibn sina. Dan persoalan ini
akan kami bahas pada pembahasan berikutnya seputar Suhrawadi.
Hal lain yang menjadi
perbedaan mendasar mengenai kuiditas dan eksistensi dalam sudut pandang Ibn
Sina adalah mengenai pemilahan beliau tentang wujud niscaya (wajib), mungkin (mumkin), dan
mustahil (mumtani’). Inilah formulasi original dari Ibn Sina yang
disepakati oleh para pilosof setelahnya.
1. Niscaya ( wajib)
Apabila kuiditas tidak
dapat dipisahkan dari eksistensinya, namun ketiadaannya adalah hal yang
mustahil karena akan menimbulkan kontradiksi itulah disebut dengan wujud
niscaya (wajib). Dalam kasus ini, kuiditas dan wujud merupakan
hal yang sama, kuiditasnya adalah wujud dan wujud adalah kuiditas. Sesuatu yang
dapat kita nisbatkan sebagai wujud niscaya ini adalah tuhan, yang keberadaannya
adalah sebuah keharusan, sebab keniscayaannya akan menimbulkan banyak
kontradiksi[4].
1. Mungkin (mumkin)
Apabila kuiditas sebuah
objek berhadapan dengan eksistensi dan noneksistensi. Artinya bahwa sesuatu itu
bisa ada atau tidak ada tanpa menimbulkan kontradiksi atau kemustahilan, maka
sesuatu itu bisa dikatakan sebagai wujud mungkin (mumkin). Banyak hal
yang bisa kita nisbatkan pada wujud mungkin ini, seperti manusia, hewan,
tumbuhan, dan sebagainya. Bahwa keberadaan atau ketiadaan manusia itu tak akan
menyebabkan suatu kemustahilan atau kontradiksi. Ia bisa ada atau pun tidak
ada.
1. Mustahil (mumtani’).
Apabila seseorang
melihat kuiditas sebuah objek di dalam pikiran, dan kuiditas tersebut tidak
dapat diterima oleh eksistensi dengan cara apapun yaitu kuiditas tersebut tidak
dapat eksis karena tidak ada eksistensi yang mampu menerimanya , maka objek
tersebut tidak ada atau mustahil ada (mumtani’).
Selanjutnya bahwa Ibn Sina juga membagi wujud mungkin itu sendiri menjadi
dua bagian, pertama adalah wujud mungkin yang di dalam dirinya dijadikan wujud
niscaya oleh wujud niscaya, dan yang kedua wujud mungkin yang di dalam dirinya
tidak dijadikan wujud niscaya oleh wujud niscaya. Hal ini akan kami bahas dalam
pembahasan kosmologinya Ibn Sina pada pembahasan kosmologi.
c) Kosmologi
Pembahasan kosmologi
ini membahas tentang proses bagaimana suatu ketunggalan itu bisa berubah
menjadi suatu keragaman, layaknya alam semesta, para malaikat yang beragam itu
berasal dari suatu yang tunggal yaitu tuhan. kosmologi melalui sudut pandang
Ibn Sina ini sebenarnya sangat berkaitan erat dengan pembahasan angelologi.
Maksudnya bahwa malaikat memiliki peran dan signifikansi dalam proses
penciptaan. Dengan bersandarkan kepada skema pancaran hierarki malaikat yang
berurutan, namun masih dalam koridor kemungkinan dan ketergantungannya sebagai
makhluk. Maka dari sinilah Ibn Sina berpandangan bahwa dari yang satu itu hanya
mungkin melahirkan satu wujud. Wujud itulah yang disebut akal pertama sebagai
pancaran langsung dari tuhan. Dan dari wujud pertama memancarkan akal kedua
serta langit pertama, begitu seterusnya hingga sampai akal ke sepuluh dan bumi,
dan dari akal ke sepuluh memancarkan segala sesuatu yang ada di bumi. Dikatakan
juga bahwa akal pertama itu adalah malaikat tertinggi dan akal ke sepuluh
adalah jibril[5].
Ibn Sina juga menggunakan gagasan bahwa melalui inteleksilah proses penciptaan
itu terjadi.[6]
Penting juga untuk
diketahui bahwa akal satu itu memiliki dua sifat, pertama adalah
sifat al-wajib wujud lighairihi hal ini jika ditinjau
dari sifat akal satu sebagai pancaran langsung dari tuhan. Yang kedua adalah
mumkin al wujud lidzatihi hal ini jika ditinjau dari hakikat dirinya.[7]
Sebelum masuk pada pembahasan selanjutnya ada baiknya kalau kita membahas
terlebih dahulu tentang keterbagian wujud mumkin menjadi dua bagian, yang
pertama adalah wujud mumkin yang mengandung sifat niscaya dan wujud mumkin yang
sama sekali tidak mengandung sifat niscaya. Wujud mumkin yang pertama ini
adalah apa yang kita sebut malaikat sebagai “akibat abadi” dari Tuhan,
artinya bahwa Tuhan menjadikannya sebagai wujud yang niscaya namun tingkat keniscayaan
disini berbeda dengan keniscayaan yang ada pada Tuhan. Wujud mumkin yang
kedua ini adalah apa yang kita sebut manusia, hewan, dsbg. Artinya bahwa wujud
manusia ini tidak bersifat abadi. Inti perbedaannya adalah bahwa wujud mumkin
para malaikat bersifat abadi dan wujud mumkin manusia, hewan, dsbg itu tidak
bersifat abadi.
TEORI
EMANASI IBNU SINA[8]
Wujud
Niscaya (Tuhan)
Akal Pertama
(al-‘Aql al-Awwal) Malaikat utama
Akal Kedua
Jiwa/malaikat langit pertama
Tubuh Langit Pertama
Akal
Ketiga
Jiwa/malaikat langit kedua
Tubuh langit kedua
(bintang-bintang teetap atau tanda-tanda zodiak)
Akal Keempat
Jiwa/Malaikat langit ketiga
Tubuh langit ketiga
Akal Kelima
Jiwa/Malaikat langit keempat
Tubuh langit keempat
Akal Keenam
Jiwa/Malaikat langit kelima
Tubuh langit kelima (Mars)
Akal
Ketujuh
Jiwa/Malaikat langit keenam
Tubuh langit keenam (Matahari)
Akal
Kedelapan
Jiwa/Malaikat langit ketujuh
Tubuh langit ketujuh(Venus)
Akal
Kesembilan
Jiwa/Malaikat langit kedelapan
Tubuh langit kedelapan(Merkuri)
Akal
Kesepuluh
Jiwa/Malaikat langit
kesembilan
(Pemberi bentuk/wahib al-shuwar:Malaikat Jibril)
Dunia yang
fana
Tubuh langit
kesembilan(Bulan)
(generation and corruption)
Istilah
paripatetik atau dalam bahasa Arab masyaiyah sendiri berasal dari zaman
aristoteles, yaitu filsafat yang didasarkan pada rasional dan cara
pengajarannya adalah sambil berjalan dan mengobrol, ciri dari filsafat ini
adalah rasional dan mengedepankan premis mayor dan minor, dan mengatakan bahwa
eksistensi (wujud ) lebih penting daripada essensi ( mahiyah) . Dan pada zaman
ini banyak ditemukan ilmuwan yang maju diberbagai bidang sains seperti Bapak paripatetik
Islam adalah ibnu sina yang mahir dalam bidang obat dan kedokteran. Ibnu Sina
terkenal dengan teori akal 10 nya.
2.
Iluminasi
(Israqiyah)
Aliran iluminasionis
ini didirikan oleh seorang pemikir iran yang bernama Suhrawardi. Mengarah
kepada makna Israq itu sendiri yang dijadikan Suhrawardi sebagai sintesis
kebijaksanaannya, dimana para pilosof dan ahli sejarah mendefinisikannya dengan
definisi yang berbeda. Seperti definisi yang pernah diberikan oleh al-Jurjani
dalam Ta’rifatnya yang termashur menyebut kaum isyraqi sebagai “para
filosof dengan Plato sebagai dedengkotnya”[9].
Sementara Ibn Washiyah yang ditetapkan sebagai penulis paling awal dalam dunia
islam pernah menggunakan istilah Isyraqi yang ditujukan kepada kelompok
orang-orang suci mesir yang merupakan anak-anak saudari Hermes.
Dari definisi yang termaktub di atas dapat kita lihat bahwa para ahli lebih
mengaitkan istilah isyraqi ini dengan periode pra-Aristotelian sebelum filsafat
murni dirasionalisasikan dan ketika jalan untuk mencapai ilmu pengetahuan masih
bersifat intuitif. Maka dari itu Suhrawardi mengikuti definisi kebijaksanaan
Isyraqi yang serupa. Yang menunjukkan bahwa landasan epistemologi filsafat
Suhrawardi tidak hanya terfokus pada nalar intelektul yang berpusat pada
rasional murni sebagaimana yang dilakukan oleh para filosof Paripatetik
melainkan juga berporos pada penalaran intelektual intuitif. Seperti
ungkapannya yang mengatakan bahwa pemikiran-pemikirannya tidak bisa dihimpun
oleh pemikiran dan penalaran, tapi yang lebih berperan besar di dalamnya adalah
intuisi intelektual, kontemplasi, dan praktek-praktek asketik.
1. Biografi sang tokoh Iluminasi
Nama lengkapnya adalah
Syihab al-Din Yahya bin Habasyi bin Amirak al-Suhrawardi, ia sering dikenal
sebagai al-maqtul(yang terbunuh) atau syaikh al-isyraq.[10] lahir
di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran barat laut dekat Zanjan
pada tahun 549 H atau 1153 M.
Suhrawardi menerima pendidikan awalnya dari Majd al-Din al-Jili di
Maraghah, kemudian pergi ke Isfahan, yang pada saat itu merupakan pusat
pembelajaran yang terkemuka di Persia dan berguru kepada Dhahir al-Din al-Qari.
Setelah itu beliau melancong ke Persia menemui berbagai guru sufi. Pada fase
inilah ia larut dalam kehidupan yang bernuansa sufistik, melakukan aktivitas pengasingan
spiritual dan banyak menghabiskan waktunya untuk dzikir dan meditasi.
Perjalanannya terus berlanjut hingga mencapai Anatolia dan Syiria. Sempat juga
ia pergi ke Aleppo dan bertemu dengan Malik Dhahir, putera Shalah al-Din al
Ayyubi yang biasa dikenal dengan nama saladin. Malik Dhahir yang memiliki
kecintaan khusus kepada kaum sufi dan para sarjana kemudian mengundang beliau
untuk tinggal di istananya di Aleppo.
Namun sangat disayangkan, kecerdasan intelektual yang diiringi oleh
kekuranghati-hatian dalam mengungkapkan doktrin-doktrin esoteriknya dihadapan
seluruh audiens membuat ia dimusuhi oleh para sarjana yang waktu itu
didominasi oleh para ahli hukum (ulama’), yang pada akhirnya berakhir atas
hukuman yang dijatuhkan padanya oleh saladin yang didasarkan atas permohonan
para ahli hukum tersebut dengan alasan bahwa Suhrawardi telah menyebarkan
ajaran-ajaran yang bertentangan dengan keimanan. Akhirnya Suhrawardi pun
dijebloskan ke dalam penjara dan meninggal pada tahun 587 H atau 1191 M, tanpa
diketahui penyebab khusus dari kematiannya . beliau meninggal pada usia yang
masih tergolong muda jika dibandingkan dengan para ahli hikmah sebelumnya
yaitu pada usianya yang ke 38. Dalam jengkal kehidupannya sang guru
iluminasi ini telah menulis hampir lima puluh karya baik dalam bahasa arab
maupun persia, yang sebagian besar dari karyanya masih bisa ditemukan hingga
sekarang.
1. Kritik atas filsafat paripatetik
Pembahasan yang menarik tentang pemikiran Suhrawardi ini antara lain
mengenai kritikannya terhadap filsafat paripatetik yang sebelumnya pernah
dibawa oleh filosof muslim Ibn Sina. Salah satu yang menjadi objek kritikannya
terhadap pandangan Ibn Sina dan para filosof aristotelian lainnya adalah
mengenai keberadaan segala sesuatu, apakah yang membuat segala sesuatu itu ada
eksistensi ataukah kuiditas. Jika menurut sudut pandang Ibn Sina bahwa
eksistensilah yang membuat kuiditas itu ada sementara menurut Suharawardi bahwa
kuiditaslah yang membuat eksistensi itu ada. Menurutnya bahwa yang memiliki
realitas dan merupakan prinsip itu adalah quiditas atau esensi, sementara
eksistensi itu hanyalah aksiden yang ditambahkan pada esensi. Pandangan yang
mengutamakan esensi dari pada eksistensi ini yang disebut sebagai
prinsipialitas esensi (ashalatul mahiyah). Kendati prisnsip ini mendapat
kritikan pedas oleh filosof sesudahnya yaitu Mulla Shadra yang menafsirkan
seluruh kebijaksanaan isyraqi sesuai dengan pandangan bahwa wujudlah yang
merupakan prinsip (ashalatul wujud) bukan mahiyah. hal inilah yang menjadi
salah satu objek kritikannya terhadap filsafat paripatetik selain kritikan yang
lain atas proses penciptaan yang diusung oleh para filosof paripatetik seperti
Plotinus, al-Farabi, dan Ibn Sina.
Sebagaimana telah diuraikan di atas mengenai proses penciptaan yang diluncurkan
oleh para filosof paripatetik yaitu bagaimana dari yang itu melahirkan
keberagaman. Tampaknya Syaikh al-Isyraq kurang sepakat dengan konsep emanasi
yang hanya dibatasi sampai akal kesepuluh saja. menurut Suhrawardi seharusnya
tidak dibatasi hanya sampai akal kesepuluh, melainkan bisa terus dilanjutkan
bahkan sampai akal keseratus, seribu, dan seterusnya. Sehingga dari sini
Suharawardi menawarkan konsep emanasi yang berbeda seperti apa yang telah
ditawarkan oleh para filosof paripatetik. Pada pembahasan ini Suhrawardi
memakai istilah cahaya untuk menjelaskan proses penciptaan. Proses iluminasi
ini dimulai dari Nur al Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada
atau dengan kata lain yang kita sebut sebagai Tuhan, kemudian dari Nur al Anwar
ini lahirlah sebuah cahaya yang disebut sebagai nur al-Aqrab. Dinamakan nur
al-Aqrab karena kedekatannya pada nur al-Anwar sebagai pusat cahaya dan tidak
ada lagi cahaya lain yang lebih dekat melebihi kedekatan yang dimiliki oleh nur
al-Aqrab. Kemudia dari nur al-Aqrab ini lahirlah cahaya ketiga, kemudian dari
cahaya ketiga muncullah cahaya keempat, dan dari cahaya keempat timbullah
cahaya kelima, terus menerus seperti itu hingga melahirkan banyak cahaya. Perlu
juga diingatkan bahwa cahaya yang berada di bawah Nur al Aqrab dan seterusnya
tetap mendapatkan cahaya dari nur al Anwar walaupun tetap juga mendapatkan
pancaran cahaya dari atasnya.
Yang membawa aliran ini adalah
Syuhrawardi Al-maqtul, syuhrawardi membawa aliran ini karena melihat banyak
ulama yang sibuk dengan masalah keduniawian dan keilmuan di bidang sains dan
melupakan agama, maka dengan teori
Israqiyahnya Syuhrawardi mengatakan bahwa yang essensi ( mahiyah) lah yang
penting dan eksistensi itu tidak terlalu penting, dan selain dengan logika harus
dengan intuisi dan sufi untuk mendapatkan hakikat. Filsafat ilmuninasi terkenal
dengan analogi cahayanya.
3.
Transendensi (
Hikmah Mutaaliyah)
Aliran hikmah mutaaliyah ini diusung oleh seorang filosof muslim abad
ketujuh belas yang dikenal dengan nama Mulla Sadra. Dengan pemikirannya yang
brilian Mulla Sadra akhirnya berhasil mensintesiskan aliran-aliran filsafat
sebelumnya seperti, paripatetik, iluminasi, dan irfan yang ia rangkum membentuk
satu aliran baru yang dinamakan aliran Hikmah Mutaaliyah. Awalnya Mulla Sadra
ini dikelompokkan ke dalam mazhab Isfahani yang dipimpin oleh Mir Damad, namun
karena pemikiran Mulla Sadra sendiri yang dianggap melebihi para pemikir mazhab
Isfahan, maka beliau pun dimasukkan kedalam mazhab tersendiri yang hingga
sekarang disebut sebagai mazhab Hikmah Mutaaliyah.
a) Biografi
Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Ibrahim Yahya Qamawi Syirazi, yang kerap kali dipanggil dengan
sebutan Mulla Sadra. Dilahirkan di Syiraz pada tahun 979/980 H dan meninggal di
Basrah pada tahun 1050 H sewaktu beliau hendak pulang dari ibadah haji[11] Beliau
merupakan anak satu-satunya dari seorang gubernur wilayah fars. Dengan
fasilitas serta dukungan dari orang tuanya, beliau pun dengan cepat mempelajari
serta cepat pula memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti, al-Quran,
Hadist, dan berbagai ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Ringkasnya, perjalanan hidup Mulla Sadra ini bisa dipetakan menjadi tiga
fase.
1. Masa pendidikan formalnya di Isfahan.
pada waktu itu Isfahan merupakan kota yang sangat penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan islam. Dan di sinilah beliau berguru dengan
seorang teolog Baha’ al Din al Amili. Kemudian melanjutkan pendidikannya
bersama Mir Abu al-Qasm Fendereski seorang filosof paripatetik. Namun guru yang
paling utama yang pernah mengajar Mulla Sadra adalah seorang filosof sekaligus
teolog yaitu Muhammad atau yang dikenal dengan panggilan Mirdamad. beliau
adalah seorang tokoh sekaligus penggagas berdirinya pusat kajian filsafat dan
teolog yang hingga kini dikenal sebagai aliran Isfahan.
1. Masa kezuhudan dan pembersihan jiwa di Kahak
Setelah menyelesaikan
pendidikannya di Isfahan, akhirnya beliau memutuskan untuk hijrah ke daerah
kahak sebuah desa pedalaman yang tidak terlalu jauh dari Qum. Di sinilah sang
tokoh Hikmah Mutaaliyah ini mulai menjalani kehidupannya sebagai seorang yang
zuhud, menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi guna
mendapatkan kesucian hati dan kebersihan jiwa. Sebagian mengatakan bahwa beliau
menjalani kehidupannya sebagai seorang yang zuhud selama tujuh tahun, sebagian
lagi mengatakan sebelas tahun.[12]
1. Masa dimana beliau diposisikan sebagai pengajar sekaligus penulis di Syiraz
Berawal dari desakan masyarakat yang meminta beliau untuk menjadi pengajar
di Madrasah Allah Wirdi Khan, ditambah lagi dengan Syah Abbas II seorang
khalifah dari dinasti Safawi yang mengajukan permintaan yang sama terhadap
beliau. akhirnya beliaupun menyanggupinya dan menyulap kota kelahirannya itu
menjadi pusat studi ilmu pengetahuan yang terkenal hingga seluruh pelosok
Persia yang mengembangkan berbagai cabang ilmu seperti, filsafat, astrologi,
fisika, kimia, dan matematika.
b) Epistemologi
Landasan epistemologi yang digunakan dalam filsafat Hikmah ini sebetulnya
tidak terlalu beda dengan landasan epistemologi yang digunakan Suhrawardi dalam
filsafat iluminasi. Mulla Sadra juga percaya bahwa jalan untuk mendapatkan
pengetahuan itu tidak hanya melalui akal saja melainkan bisa juga ditempuh
melalui jalur yang bersifat intuitif (mistik).
Berbicara tentang wahdah Mulla sadra percaya bahwa wujud itu hanya
satu, namun yang membedakan satu wujud dengan wujud yang lainnya itu adalah
esensi yang dimiliki oleh masing-masing wujud itu sendiri. Menurut prof Mulyadi
Kartanegara dalam bukunya gerbang kearifan (73)
mengatakan bahwa konsep wahdatul wujud Mulla Sadra ini lebih dekat dengan
konsep cahaya yang diusung oleh Suhrawardi. Suhrawardi mengatakan bahwa cahaya
pada hakikatnya hanyalah satu, namun yang membedakannya adalah intensitas dari
cahaya tersebut. Bagi Mulla Sadra semua wujud itu sama saja apabila dipandang
dari sisi kewujudannya, hatta wujud
tuhan sekalipun dapat disamakan dengan wujud kerikil jika dipandang dari
kewujudannya, namun sekali lagi kami tekankan bahwa yang membedakan wujud satu
dengan wujud lainnya itu adalah berbedanya tingkat gradasi yang dimiliki
oleh tiap-tiap wujud.
Kemudian mengenai
ashalah (principality). Menurut Mulla Sadra menyebut prinsipnya ini
dengan ishalat al-wujud yang berbicara tentang keutamaan
wujud. Berbeda dengan Suhrawardi yang mengatakan bahwa yang prinsip itu
adalah mahiyah. Mulla Sadra berpendapat bahwa yang prinsip itu adalah wujud.
Yang benar-benar real itu adalah wujud, dan mahiyah itu hanya ada dalam pikiran
manusia saja tidak benar-benar ada pada benda-benda yang terdapat dalam
realitas eksternal. Mulla Sadra memahami betul tentang kritikan yang pernah
diberikan oleh Syaikh Israq bahwa sebenarnya yang kita fahami sebagai (wujud)
eksistensi itu sebenarnya adalah mahiyah(esensi). Namun yang dimaksud
disini oleh Mulla Sadra adalah wujud sejati yang bukan hanya sekadar konsep
atau pemahaman kita tentang wujud. Kalau yang dimaksud oleh Suhrawardi adalah
wujud yang berada ditataran konsep maka Mulla Sadra juga sepakat bahwa itu
disebut juga sebagai esensi.
Dan yang terakhir
mengenai perubaha substantif yang oleh Mulla Sadra disebut dengan safar(perjalanan/pengembaraan). Di dalam kitabnya al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asfar al-Aqliyah al-Arba’ahmenjelaskan
tentang perjalanan akal secara lengkap melalui tahapan-tahapan dari
ketidaksempurnaan menuju yang maha sempurna.[13] Intinya
tahapan-tahapan ini terbagi menjadi empat bagian.
1. Tahap pertama
Perjalanan pertama
adalah dari makhluk menuju hakikat kebenaran atau pencipta. Perjalanan pertama
ini menunjukkan pengembaraan dari maqam nafsu ke maqam hati, dari maqam hati
menuju maqam ruh, dan dari maqam ruh menuju tujuan terakhir atau bisa juga
disebut sebagai tujuan tertinggi (al-Maqshad al-kubra).
Setiap manusia pada umumnya melewati ketiga maqam ini, dan apabila manusia
telah sampai pada tujuan akhir, maka ia telah menghadapkan wajahnya kepada
kehadirat tuhan dan ia fana di dalamnya.
1. Tahap kedua
Perkalanan kedua adalah
dari hakikat ke hakikat dengan hakikat (minal haq ilal haw bil haq).
Perjalanan ini dimulai dari maqam dzat menuju maqam kamalat hingga hadir
dalam kesempurnaan tuhan dan mengetahui seluruh nama tuhan. Seseorang yang
telah sampai pada maqam ini, dzat, sifat, dan perbuatannya fana di dalam Dzat,
sifat, dan perbuatan tuhan. Maka manusia tersebut mendengar dengan Pendengaran
Tuhan, melihat dengan Penglihatan Tuhan, dan bertindak dengan Tindakan Tuhan.
1. Tahap ketiga
Perjalanan ketiga
adalah dari hakikat kepada makhluk dengan hakikat. Setelah menempuh perjalanan
melalui maqam-maqam, kefana’annya berakhir kemudian ia kekal dalam kekekalan (baqa’) Tuhan. dan berjung pada pengecapan atas nikmat
kenabian,walaupun ia bukanlah seorang nabi, dan memperoleh ilmu alam ketuhanan
melalui Dzat, sifat, dan Perlakuan Tuhan.
1. Tahap keempat
Perjalanan keempat
adalah dari makhluk ke makhluk dengan hakikat. Seorang yang sudah salik mengamati makhluk dan menangkap kesan-kesan
yang ada pada makhluk, baik lahir maupun batin, baik sekarang maupun di masa
yang akan datang. Ia membawa ilmu yang dibutuhkan makhluk, mengetahui mana yang
mendatangkan kemudharatan dan yang mendatangkan kebaikan. Dalam kehidupannya ia
senantiasa bersama al-Haqq karena wujudnya telah terpaut dengan al-Haqq, serta
perhatiannya kepada makhluk tidak akan pernah meduakan perhatiannya kepada
Tuhan.
Orang
yang membawa aliran ini adalah Mulla Sadra, Mulla Sadra lebih canggih karena
menyatukan antara intuisi dan logika sehingga Mulla Sadra mengatakan bahwa
wujud itu lebih penting dan wujud itu merupakan aksiden dari essensi. Cara
untuk mendapatkan hakikat Mulla Sadra ada 4 cara antara lain maqom ke hadits,
hadits ke maqom, maqom ke maqom, hadits ke hadits. Dan teorinya hampir mirip
dengan ilmuniasi bahwa yang membedakan mahluk yang satu dengan yang lain tergantung
dari gradasi wujudnya. Semakin besar cahaya dari mahluk itu maka semakin besar
kemungkinan akan bertemu dengan Tuhan, maka Filsafat Mulla Sadra ini disebut
dengan filsafat transendensi karena berjalan menuju kesempurnaan.
ALIRAN-ALIRAN
TASAWUF
1.
TASAWUF
MALAMATIYYA[14]
Sudah jamak dikalangan para sarjana , terutama mereka uang memiliki
perhatian pada dunia tasawuf , bahwa masa keemasan tasawuf telah mencapai
puncaknya pada abad 4 H atau 10 M . M ereka lupa bahwa masa keemasan islam adalah
pada masa Nabi Muhammad SAW , terutama pada periode madinah. Sabda Rasululloh SAW “ sebaik-baik masa
adalah masaku”. Betul bahwa taswuf
sebagai ilmu telah mengalami kesempurnaan lahirnya pada abad 4 H. Tapi tasawuf bukan ilmu,bukan teori, bukan
pula wacana melainkan kehidupan hidup hubungan yang intim dengan Alloh
SWT. Atas keintiman tersebut manusia
mengalami transformasi dari dari tidak baik menjadi baik, dan dari baik menjadi
terbaik. Bahkan transformasi itu
berlangusng tiada batas dan mengekspresikan hasrat yang tak terbendung dalam
diri manusia menuju kesempurnaan.
Pengalaman isra mi’raj nabi telah memberi insprasi yang luar biasa
terhadap proses perjalanan tiada akhir menuju kepada Alloh SWT , berbagai
fenomena keseharian yang dialami rasulullah bersama atau ditengah para
sahabatnya merupakan fenomena spiritual yang dapat dinilai sebagai
peristiwa-peristiwa supranatural yang pada gilirannya hanya bisa dicapai atau
didapatkan oleh mereka yang berjalan tiada henti menuju kesempurnaan.
Sebutlah misalnya tentang turunnya
alquran karena terlalu populer sehingga tidak ada perenungan . menurut sejarawan mesir modern, Husain Mu’nis
peristiwa turunnya wahyu kepada nabi Muhammad SAW adalah peristiwa yang luar
biasa sebab proses tersebut sesungguhnya memperlihatkan secara rinci bagaimana
seorang manusia biasa berproses menjadi nabi dan rasul. Dan menerima wahyu . serta membahasakan kalamullah . termasuk peristiwa perang badr yang juga
merupakan sebuah peristiwa supranatural yang berdimensi keunggulan dimensi spiritualisme,
diriwayatkan , ditengah kecamuk perang setiap kali tentara muslim patah
pedangnya mereka kembali kepada pos Rasululloh SAW dan beliau memberikan apa
saja, tongkat, atau tangkai kayu yang tiba-tiba berubah menjadi pedang, dalam
berbagai riwayat hadis dirinci betapa alam sekitar merespon setiap kali
ayat-ayat alquran diturunkan.
Pandangan ibnu khaldun terhadap
fenomena sufisme abu Abd Rahman al-sulami hendak ditegaskannya dalam thabaqat
al-sufiyah-nya. Menurut ibnu khaldun,
fenomena sufisme merupakan kesinambungan tradisi nabi yang terpelihara secara
turun-temurun dari generasi awal. merupakan mainstream islam semenjak masa
awalnya orang-orang kemudian terpengaruh oleh gemerlapnya dunia. Al-Thusi dalam luma’ juga menceritakan hal
yang sama, bahwa sufisme berubah menjadi
kaum minoritas tatakala mainstream umat islam sudah hanyut bergelimang
keduniaan.
Pada pengantar thabaqatnya Sulami
menjelaskan bahwa para awliya merupakan penerus tradisi para nabi dan rasul
. karena itu alloh tidak membiarkan
dunia tanpa ada yang menunjuki umat kejalan Alloh. dan para pembawa petunjuk tersebut
bertingkat-tingkat derajatnya. Diantara
karya Sulami yang paling berarti bagi thabaqat adalah risala
malamatiyya. Bahkan ajaran tasawuf
yang diuraikan melalui ungkapan yang pernyataan 105 tokoh dalam thabaqat pada
umumnya mempraktekan ajaran-ajaran yang diuraikan oleh Sulami dama risala
al-malamatiyya.
AJARAN
MALAMATIYYA DALAM RISALA SULAMI:ANALIS TEKSTUAL
Berikut
analis ajaran malamatiyya sebagaimana diuraikan Sulami(w. 413 H) dalam karyanya
risalah al-malamatiyya, khususnya dasar pemikiran dan wilayah penerapannya.
empat aspek akan menjadi fokus perhatian:
1.
Prinsip-prinsip
dasar pemikiran malamatiyya
2.
Pandangan
malamatiyya tentang al-nafs (nafs amarra bissu’)
3.
Metodologi
malamatiyya dalam pendidikan spiritual dan perilaku
4.
Malamatiyya dan
kode etiknya(adab)
Ia
menempatkan malamatiyya pada tingkatan yang tertinggi ,ia mencatat “karena
mereka ditempatkan oleh Alloh pada posisi kebersatuan(jam’) ,
kedekatan(al-qubra), keintiman (al-uns), dan hubungan tak berujung (wusla),
Alloh telah mengambil mereka kepada-Nya.
Alloh membiarkan mereka muncil diantara orang-orang , sementara pada
saat yang sama kesadaran mereka pada Allah berkesinambungan “ Sulami
menyatakan “ini adalah tahap ditinggikan (ahwal) , dimana apa yang dalam batin
tidak muncul pada lahiriyah”. [15]
Abu hafs berkata kepada utshman
“berada ditengah masyarakat adalah kembali dari Allah kembali kepada
mahluk-Nya, maka periksalah siapa kau sesungguhnya” . pernyataan abu hafs tidak lantas menjadikan
malamatiyaa menganut sikap isolasi diri,melainkan justru menuntut kesadaran
penuh disaat , agar tetap mempertahankan hubungan yang tak berkesudahan dengan
Allah, bahkan setelah mencapai tingkat tertinggi pada jalan spiritual . untuk mencapai tujuan ini harus menganggap diri
sendiri sebagai diri yang tercela. oleh karena itu, maka laum,malamah , mencela
diri sendiri merupakan suatu cara pendidikan dalam perjalanan spiritual.
Tentang pentingnya konsep menyalahkan diri ,
sulami mengutip prinsip malamati bahwa dengan menimbulkan celaan seseorang akan
terus menanjak(taraqqi) dari suatu tahap ketahap yang lainnya, hingga
kesaran terdalam(sirr) mencapai tahap pencerahan (nur) tanpa disadari
oleh hati (qalb) . sebaliknya ,
dari tahap jiwa menyentuh hati tanpa terpengaruh sifat-sifat baawaan (tab’). Dan dalam tingkatan itu akan mukasyafa
terlahir dalam kesadaran terdalam(sirr) sedangkan ruh tidak lagi
mengandalkan hati ataupun jiwa sama sekali.
Lebih lanjut sulami menjelaskan untuk menghindarkan ancaman jatuh dari
taraf sidiqqin ketulusan sejati sang malamati menjaga kesadaran diri dengan
tetap mencela dan melihat kekurangan-kekurangannya agar tulus melampaui
godaan-godaan hawa nafsunya.
Dalam konsep al-junaid seorang sufi
dari baghdad tahap ini disebut dengan al-hirah, taraf kaannaka narahu,
menarik untuk dicatat bahwa pada tahap mukasyafah kemampuan untuk melihat
realitas sejati ada dua yakni dengan kepala sendiri dan dengan memperoleh
pencerahan dan memeperoleh pencerahan yang memberi kemampuan untuk melihat
sesuatu dalam dimensi transendentalnya. ini merupakan visi empirik.
METODE MALAMATIYYA
Ada tiga metode yang sangat mendasar bagi malamatiyya dalam
pemdidikam spiritual dan perilaku, yakni:
1.
Berpaling dari
nafs amarrah untuk mengobati penyakit-penyakit jiwa seperti , kesombongan,
kebodohan, keangkuhan dll
2.
Selalu
menentang keinginan dari diri sendiri demi menjaga konsistensi dan kedisiplinan
3.
Terus menerus
menyalahkan diri sepanjang tergoda oleh nafs amarrah demi mempertahankan
kebersamaan dengan Tuhan.
Seorang sahabat Abu hafs mengatakan”aku
diperintahkan oleh Abu hafs untuk beraktifitas di pasar dan mencari nafkah,
tetapi tidak membolehkan aku membeli makan dari hasil dagang dipasar tersebut,
malah menyuruhku untuk menyumbangkan semuanya kepada fakir miskin , untuk
kebutuhan makanku aku diperintahkannya untuk mengemis. orang-orang kemudian
pada protes, sepanjang hari beraktifitas
dipasar malah mengemis untuk makannya .
begitu mereka mengetahui bahwa yang aku lakukan adalah perintah Abu Hafs
mereka kemudian ramai-ramai menyumbang makanan
untukku. Abu hafs lalu memintaku
aku berhenti mengemis”.[16]
Makna yang difahami dari ilustrasi
tersebut adalah bukan sejauh mana seseorang berhasil menghinakan diri melainkan
sebesar apa nafs amarrah tidak lagi memepengaruhi jiwa dan kesadaran ego?
Adakah jiwa menjadi lebih tenang karena kecenderungan-kecenderungannya
terpenuhi oleh godaan-godaan hawa nafsu? Tapi apakah ini tidak berarti bahwa
malamatiyya telah terjebak kedalam paradox dimana memusatkan kepada jiwa yang
seharusnya dihindari? Pertanyaan ini dimunculkan oleh hakim tirmidhi yang
sepertinya merupakan protes kesar terhadap metode nisapur. seperti yang dikutip
sara sviri hakim mepertanyakan “jika orang harus memusatkan perhatian pada
pengetahuan mengenai seluk beluk jiwa maka ia tidak akan pernah membebaskan
diri, jika orang sibuk mengurus kekurangan-kekurangan jiwa maka sepanjang
hidupnya hanya perjuangan membebaskan diri dari jiwanya.
KODE
ETIK (ADAB ) MALAMATIYYA
1. Ikhlas dalam kejujuran dan jujur dalam keihlasan
Para
malamatiyya kepada beribadah dimuka umum tidak ada ada perbedaan dengan muslim
biasa, sholatnya juga tampak normal tidak terlalu tampak lama, begitu juga dan
zikirnya tampak wajar-wajar saja. Tetapi
ketika dirumah atau ditempat sunyi, mereka melakukan ibadah lebih khusyuk dan
lebih tekun dan lebih intens. Mereka
melakukan ibadah lainnya seperti sodaqoh dengan cara tersembunyi dan takut tercampu riya’. semuanya dilakukan
semata karena keikhlasannya sudah mencapai tataran yang sangat tinggi. Inilah kelompok malamatiyyah sejati ,
berlawanan dengan kelompok awam yang tampak khusyuk dimesjid atau didepan
banyak orang,tapi malas ogah-ogahan ketika berada dirumah dan sendirian.
2. ANTI KEMAPANAN
AL harits ibn Asad Al muhasisbi mengatakan “kamu dapat
mengidolakan Alloh jika kamu melihat keagungan dan begitu dahsyatnya nikmat
yang di anugerahkan Allah kepadamu.
Semakin kamu mensyukuri semakin kecil pula kamu dihadapan Allah”. Jika mereka merasakan pada dirinya ada
kecenderungan riya pada dirinya maka mereka melakukan perbuatan yang dapat
mengundang penghinaan orang seperti yang dilakukan oleh Abu yazid Bustani
ketika orang-orang mengelu-elukannya tapi merasa tidak nyaman maka iapun makan
siang dihadapan mereka padahal sedang berpuasa romadlon. Masyarakat kemudian memaki-maki dan
mengihna-hinakan
AL-IETSARI
Prinsip ini didasarkan kepads Qs,59:9 dimana Alloh memuji sikap
penduduk asli Madinah yang menerima kedatangan kaum Muhajirin , para pendatang,
yang memperlihatkan sikap mendahulukan kepentingan saudara dan kawan daripada
kepentingan diri sendiri, prinsip ini menciptakan sikap futuwah sebagai yang
digambarkan QS. 18:13 yakni ashabul kahf
yang hatinya terbuka satu sama lain, simbol kebersamaan yang prima.
FUSUSH
AL-HIKMAH[17]
Fusush al-hikam dibuat oleh Ibnu Arabi walau disana disebutkan bahwa bahwa fusush al-hikam adalah buatan nabi Muhammad SAW. Diceritakan dalam kitab tersebut bahwa Ibnu Arabi bermimpi dan bertemu dengan Rasululloh Muhammad SAW kemudian nabi memeberikan suatu kitab, dan kitab itu adalah fusush al-hikam didalam mimpinya nabi Muhammad SAW menyuruh untuk meneyebarkan kitab itu untuk disebarkan kepada umat, dan diamalkan. kemudian Ibnu Arabi membuatnya walaupun dia mengklaim bahwa kitab fusush al-hikam adalah dari Alloh dan diperantarai oleh nabi Muhammad SAW yakni ilmu yang langsung Alloh turunkan kepada Ibnu Arabi tanpa perantara seperti halnya hadits yang ada periwayat atau sanadnya ketika di awal hadits harus ada “an an “ nya namun disini disebut dengan “ilmu laduni” yaitu ilmu yang berasal dari Alloh langsung tanpa ada perantara dari orang lain.
Didalam fusush al-hikam diceritakan bahwa hikmah ini diperuntukan bagi yang mengkaji tentang tasawuf walaupun Ibnu Arabi sendiri menerangkan fiqih dari luarnya (dzahirnya) contohnya Ibnu Arabi menerangkan tentang wudlu itu dengan air namun lebih daripada itu kita harus bersih dzahir atau badan dan juga bersih hati. untuk apa kita bersih badan tapi hati kita kotor dan kita korupsi atau melakukan kejahatan seperti yang lainnya,berarti kita melakukan suatu pekerjaan yang sia-sia. Kita solat tapi solat kita tidak mencegah kepada yang batil dan kepada yang diharamkan dan dilarang oleh Alloh berarti ibadah dan solat kita hanya sebatas kepada gerakan tubuh saja tanpa adanya gerakan hati dan tidak ada amal dan dampak bagi kehidupan sehari-hari kita.
INSANUL
KAMIL[18]
Nama lengkapnya ialah ’Abd al-Karim
ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Ia
mendapatkan gelar kehormatan ”syaikh” yang biasa dipakai di awal namanya.
Selain itu, ia juga mendapat gelar ”Quthb al-Din” (kutub/poros agama), suatu
gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan Al-jili karena
ia berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher mengatakan, penisbatan itu bukan
pada Jilan, tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Baghdad”jil’. Ia lahir
pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, karya-karya menurut kami
masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:
Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i
al-Awakhir wa al-Awail, Buku ini adalah bukunya yang paling poluler. Karya ini
tersebar di Dar al-Kutub al-Mishriyah,
Kairo, beberapa kali diterbitkan maktabah shabihy dan mushthafa al-Babi
al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.Buku ini mengupas dengan mendalam
konsep insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
1.
Al-Durrah al-‘Ayiniyah
fi al-Syawahid al-Ghaybiyah, Buku ini merupakan antologi puisi yang mengandung
534 bait syair karya al-Jilli
2.
Al-Kahf wa al-Raqim fi
Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim, Buku ini merupakan kajian mendalam
mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir sufi. Berbeda
dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya menjelaskan kata
demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-Qur’an—al-Jilli, di dalam
karya ini menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang
menurutnya merupakan lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna
tersendiri.4. Lawami’ al-Barq
3.
Maratib al-Wujud, Buku ini
menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba’in
Maratib.
4.
Al-Namus al-Aqdam, Buku
ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari juz
lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian
besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.
TEORI
EMANASI SUHRAWARDI
C.
ALIRAN IRFAN (Tasawuf)
Di tengah khalayak pada umumnya, aliran Irfan biasa dikenal sebagai aliran
tasawuf dan para pelakunya disebut sufi. Berbeda dengan filsafat yang bertumpu
pada penalaran rasional, sementara tasawuf bertumpu pada pengalaman mistik yang
bersifat supra-rasional. Jauh sebelum kelahiran Syaikh Isyraq pembahasan
tasawuf dibedakan dengan pembahasan filsafat, seperti pada masa Ibn Rusy dan sebelumnya.
Namun pada masa Suhrawardi, sudah mulai terlihat adanya upaya untuk menyatukan
kedua hal tersebut. dibuktikan dengan pemikiran filosofisnya yang tidak hanya
dibangun atas usaha-usaha rasional semata tapi juga melibatkan usaha-usaha
intuitif.
Seperti yang sudah kami singgung di atas bahwa kaum sufi mendapatkan
pengetahuan tentang segala sesuatu melalui pendekatan-pendekatan intuitif atau
yang bersifat perenungan, dan pendekatan ini bertumpu pada hati. Sangat berbeda
dengan para filosof yang mendapatkan pengetahuan mereka melalui
pendekatan-pendakatan rasional yang bertumpu pada akal atau rasio. Menurut kaum
sufi perolehan pengetahuan yang didapatkan melalui pendekatan intuitif sangat
berbeda dengan pendekatan rasional, karena dengan menggunakan metode pendekatan
intuitif ini seseoran g dapat langsung mengetahui objek pengetahuan tanpa harus
melewati perantara. Artinya bahwa dengan cara ini kaum sufi bisa melihat
realitas pengetahuan yang diinginkan tanpa adanya sekat-sekat yang
membatasi mereka. Sementara para filosof yang menggunakan pendekatan rasional
dalam mencapai pengetahuan akan terhambat oleh sekat-sekat yang harus diterima
oleh akal itu sendiri sebagai poros dari kegiatan rasional. Sesuai dengan
pertanyaan yang dimunculkan oleh sufi agung jalaluddin rumi,” bisakah anda
menyunting mawar dari M.A.W.A.R ?”[19] maksudnya
adalah bahwa para filosof bisa memahami bunga mawar itu dengan mengetahui
terlebih dahulu huruf-huruf yang digunakan untuk menyusun kata mawar, sementara
kaum sufi bisa langsung mengetahui bunga mawar tanpa harus mengetahui nama dari
bunga mawar tersebut. sama halnya juga dengan “cinta” walaupun sudah banyak
para ahli yang mencoba untuk mendifinisikannya, namun tetap saja seseorang tak
akan pernah mengerti arti cinta yang sesungguhnya ketika ia belum merasakan
sendiri rasanya jatuh cinta. Begitu juga dengan pengetahuan sejati, tak akan
pernah bisa dipahami dengan benar apabila seseorang tidak mencoba untuk melihat
pengetahuan itu sendiri (mengalami). Pendekatan seperti inilah yang disebut
oleh ahli sufi sebagai pendekatan intuitif, yang terkadang juga sering disebut
sebagai ilmu laduni atau ilmu huduri (ilmu yang diperoleh secara langsung).
Jadi kesimpulannya bahwa kaum sufi lebih mengandalkan hati sebagai alat untuk
mendapatkan pengetahuan ketimbang akal.
Untuk membahas kajian
Irfan ini lebih jauh lagi, kami akan mengambil satu tokoh yang sekiranya dapat
mewakili pemikiran tokoh-tokoh sufi lainnya yaitu Ibn Arabi. Ibn Arabi ini
merupakan seorang Sufi agung yang dikenal melalui konsep wahdat al wujudnya.
1. Biografi Ibn Arabi
Abu Bakar Muhammad bin al-Arabi al-Hatimi al-Tha’i atau yang biasa di
panggil Ibn Arabi, dilahirkan di Murcia, Spanyol Selatan pada tahun 560 H/1165
M. Beliau lahir dari rahim seorang wanita asli arab yang berasal dari Suku
Tha’i. Di tengah masyarakat beliau juga dikenal dengan panggilan Syeikh
al-Akbar (guru teragung) atau Muhy al-Din(penghidup agama). Setelah
menghabiskan tahun-tahun awalnya di Murcia, beliau pun hijrah menuju Sevilla
tempat ia tumbuh dan menerima pendidikan awalnya. Pada periode awal
kehidupannya beliau bertemu dengan dua wali perempuan yaitu yasmin Mursyaniyah
dan Fathimah al-Qurthubiyah, kedua figur ini lah yang memberikan pengaruh yang
kuat atas orientasi kehidupannya. Terutama kepada Fatimah yang sudah ia anggap
sebagai ibu spritual baginya, yang terus menjadi pembimbingnya selama dua
tahun. Sebagai seorang pemuda yang jenius, memiliki tingkat kecerdasan yang
tinggi, serta memiliki penglihatan spritual yang tajam, Ibn Arabi mulai
melakukan rihlah ke berbagai kota di Andalusia dan bertemu dengan para wali.
Dikatakan juga bahwa beliau pernah bertemu dengan Ibn Rusyd salah seorang
filosof yang namanya lebih dikenal di dunia barat.
1. Ontologi
Sebagaimana yang telah
saya ungkit di atas, bahwa Ibn Arabi itu dikenal dengan konsep wahdat al wujud-nya . yang artinya bahwa wujud sejati
itu hanyalah satu Dia lah Allah, Tuhan alam semesta, sumber segala kebenaran.
sementara alam hanyalah manifestasi dari wujud sejati yang di dalam dirinya
tidak memiliki wujud sebagaimana wujud sejatinya Tuhan.
Hubungan wujud sejati dengan alam biasanya beliau gambarkan dengan “gambar
wajah” yang muncul dari sebuah cermin. Sesuai dengan perkataan beliau,”wajah
itu satu, tetapi cermin seribu satu”, artinya bahwa wajah sejati tuhan itu
terpantul dalam ribuan cermin. Keberagaman model dari pantulan tersebut
tergantung kualitas dari kaca yang memantulkan wujud sejati. Hingga dari
sinilah muncul berbagai macam bentuk makhluk yang tercipta dari pantulan wajah
tuhan yang semuanya berbeda karena kualitas kaca yang memantulkan juga berbeda.
Bisa kita ambil contoh ketika kita memasuki rumah kaca yang setiap sudutnya
penuh dengan kaca yang berbeda dari segi kualitasnya, ketika kita memasuki
rumah tersebut tentu kita akan menyaksikan banyaknya bayangan kita yang
terlihat dengan bentuk yang berbeda-beda tergantung jumlah kaca yang terdapat
dalam rumah tersebut. oleh karenanya kebinekaan yang ada di alam semesta ini
seharusnya tidak mengelabui pandangan kita, bahwa masing-masing dari mereka
memantulkan wajah tuhan, maka dimanapun kita menghadapakan wajah, maka
disitulah kita akan menemukan wajah tuhan. Dan keberadaan alam semesta ini
sangat bergantung kepada kehadiran tuhan. Karena jikalau tuhan menarik
kehadirannya, maka alam semesta ini pun akan lenyap, sebagaimana lenyapnya
bayangan kita ketika kita menghindar atau menjauhkan diri dari kaca tersebut.
Bagi Ibn Arabi, kehadiran tuhan itu begitu jelas, bahkan terlalu jelas
untuk kita sadari. Sebagaimana kelalawar yang tak bisa melihat matahari bukan
karena matahari itu tidak ada, melainkan karena cahayanya yang terlalu terang
sehingga membuat kelalawar kesulitan untuk melihatnya.
1. Kosmologi
Konsep kosmologi yang ditawarkan oleh Muhy al Din ini sangat berbeda dengan
konsep yang pernah ditawarkan oleh para dilosof paripatetik dan iluminasi. Ibn
Arabi mengatakan bahwa segala yang ada di alam semesta ini hanyalah manifestasi
tuhan, yang tidak akan mungkin ada tanpa keberadaan
TEORI MANIFESTASI IBN
ARABI[20]
Bagan di atas menggambarkan bahwa segala sesuatu yang tercipta itu adalah
manifestasi Tuhan yang tidak akan mungkin ada tanpa keberadaannya. Seperti akal
pertama merupakan manifestasi awal dari Tuhan, kemudian disusul dengan jiwa
universal disambung dengan tabiat universal, begitu seterusnya hingga mencapai
tahapan manusia yang menyimbolkan manifestasi yang paling sempurna dari Dzat
yang maha sempurna. Dalam konsep kosmologi yang ditawarkan oleh para filosof
menyebutkan bahwa alam fisik adalah emanasi terendah dari Tuhan, beda halnya
dengan kaum sufi yang menempatkan keberadaan Tuhan di setiap manifestasi yang
ada.
DAFTAR PUSTAKA
Drajat Amroeni.
2005. Suhrawardi:kritik falsafah paripatetik, Yogyakarta:
PT LKis Pelangi Aksara
Nasr Seyyed Hossein.2006. Tiga Mazhab Utama Filsafat
Islam, Gowok Jogjakarta: IRCiSoD
Kartanegara Mulyadi.2006.Gerbang Kearifan, Jakarta:
Lenteng Hati
Zar Sirajudin. 2004. Filsafat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Nasution Hasyimsyah.
2002. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
lingkarpenadamayana.wordpress.com diunduh pada 31 Agustus 2014
[1]Lihat Amroeni Drajat, Suhrawardi kritik falsafah paripatetik, hlm.75
[2]Lihat Seyyed
Hossein Nasr, Tiga Aliran Filsafat Islam, hlm.46
[3]Lihat Seyyed
Hossein Nasr, Tiga Aliran Filsafat Islam, hlm.52
[4]Sebagaimana
pembuktian tentang keberadaan tuhan yang telah dibuktikan oleh banyak filosof
dengan berbagai dalilnya, bahwa tuhan itu harus ada sebagai penyebab utama atas
keberadaan alam semesta.
[5]Lihat Amroeni
Drajat, Suhrawardi kritik atas falsafah paripatetik, hlm.129
[6]Hierarki akal
dan jiwa serta persoalan-persoalan umum kosmologi dibicarakan paling
rinci dalam bagianmetaphysics dari shifa’ (
Tehran, 1303), hlm 618ff.
[7]Lihat Amroeni
Drajat, Suhrawardi kritik atas falsafah paripatetik, hlm.129
[8]Lihat Mulayadi
Kartanegara, gerbang kearifan, hlm.40-41
[9]Lihat Sayyed
Hossein Nasr, tiga aliran filsafat islam,hlm.114
[10]Lihat Sayyed
Hossein Nasr, tiga aliran filsafat islam,hlm.102
[11]Lihat
Dr.Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,hlm.167
[12]Lihat
Dr.Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,hlm.168
[13]Lihat
Dr.Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,hlm.175
[14]Seminar
Tasawuf Malamatiyya karya Al-Sulami
[15]Seminar
tasawuf STFI SADRA Jakarta
[16]Abu hafs
berbicara
[17]Seminar
Tasawuf Nusantara STFI SADRA Jakarta pemateri Frop. Dr. Kautsar Noer
[18]Seminar
Tasawuf Nusantara dari kitab Insanul Kamil karya Abdul Karim Al-jili
[19]Lihat Mulyadi
Kartanegara, Gerbang kearifan, hlm.58
[20]Lihat Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, hlm.66
0 komentar:
Post a Comment