Bila Putus Asa Meraja
Beri aku sahabat dan kekasih
Segenap perkerabatan, kau terlebih
Masih saja, aku lumpuh letih
Engkaulah Nuh dan bahtera
Engkau gelap dan cahaya
Masih saja, aku terkabuti rahasia
Engkau gairah cinta dan kemarahan
Engkau burung dan kurungan
Masih saja, aku sesat terbang sendirian
Engkaulah anggur dan gelas piala
Engkaulah tetes air dan samudera
Masih saja, aku terapung terbawa
Aku berkata, "Oh Jiwa dunia
Keputusasaanku telah meraja!"
"Akulah kesejatianmu," tanpa maki,
"Hargai aku lebih dari emas murni."
Engkaulah umpan dan jebak
Engkaulah peta dan jalan setapak
Masih saja, aku mencari jejak
Engkaulah manis madu dan racun
Engkau terkalahkan dan penaklukan
Masih saja, pedangku di tangan
Engkaulah hutan dan gergaji
Engkau yang mentah, yang siap saji
Masih, aku di pot tak bisa pergi
Engkau kabut dan sinar matahari
Engkaulah air dan kendi
Masih saja, aku haus tak henti
Shamsi adalah aroma harum
Kebanggaan Tabriz pembangkit senyum
Masih saja, aku hanya penjual parfum.
* Syair ke 26 dari Diwani Shams Tabriz,
Karya Jalaluddin Rumi. Judul dari HA.
---------------------------------------------
Bisikan Kekasih
Kekasih berbisik ke telingaku,
"Menjadi mangsa lebih baik daripada seorang pemburu.
Jadikanlah dirimu hambaku.
Jangan lagi mencoba menjadi matahari, jadilah senoktah noda saja!
Tinggallah di Pintuku dan pergi jauh dari rumah.
Jangan menyaru jadi sebatang lilin,
maka kau akan mengecap nikmatnya Kehidupan
dan menemu kekuatan tersembunyi di balik penghambaan."
Jalaluddin Rumi, Matsnawi V. 411-414
------------------------------------------
Bulan Mencuriku
Sajak Jalaluddin Rumi
Pada sebuah senja, bulan hadir di langit;
Lalu turun ke bumi memandang pada arahku.
Bagai elang mencuri burung di musim berburu;
Bulan mencuriku, dan bergegas menuju langit.
Kupandangai diri, tak ada kulihat lagi aku;
Selama ada di bulan, tubuhku semurni jiwa.
Sembilan lapis langit hilang di bulan itu;
Kapal ke-ada-anku terbenam di laut dalam.
--------------------------------------------
Bulu Matamu Menulis Puisi
Pada suatu nanti, Engkau akan ambil
seluruh hatiku, dan mengubahnya
jadi lebih ganas daripada seekor naga.
Bulu-bulu matamu kelak menulis di hatiku
sajak yang tak pernah tertulis-terbaca
dari pena seorang pujangga.
------------------------------------------------
Cinta Mengejarku
Semalam aku mabuk tergila-gila,
cinta mengejarku dan berseru:
"Aku datang padamu, jangan bersorak,
jangan basahi baju dengan air mata,
dan jangan lagi bicara."
"O, cinta!" kataku: "Aku takutkan lainnya."
"Tak ada yang lain," katanya: "jangan bicara lagi.
Akan kubisikkan kata-kata tersembunyi ke telingamu;
Mengangguklah setuju! Dalam rahasia, jangan lagi bicara!"
[Dari Diwan 2219:1-5]
------------------------------------------
Dari Hati Pencinta
Dari hati sang pencinta,
darah mengalir,
deras bagai sungai
Tubuh kita adalah kincir
dan cinta adalah air.
Tanpa air, kincir tak berputar.
----------------------------
Dari Masam dan Pahit, Menuju Manis Rasa
Andai pohon itu dapat berlari dan terbang mengepak
Ia tak menanggung sakit tersebab gergaji dan kapak
Andai sayap dan kaki matahari tak mengitari malam,
Apa yang menyinari dunia di pagi yang pasanga dalam?
Andai laut tidak menguapkan asin airnya ke langit,
Bisakah hujan dan sungai memacu kebun tumbuh bangkit?
Ketika setetes meninggalkan rumah lalu kembali pulang,
Ia menjadi mutiara setelah menemukan nyaman cangkang.
Bukankah Yusuf bertolak tinggalkan Bapanya bertangisan?
Bukankah ia menjemput keberuntungan, kerajaan, kemenangan?
Bukankah Muhammad berhijrah ke kota Madinah,
Menyebar kedaulatan dan ajaran ke ratusan wilayah?
Meskipun engkau tak berkaki, bertualanglah ke dalam diri,
Bagai tambang permata rubi, menerima jejak dari matahari
Mengembaralah O, tuan, dari luar diri, ke diri sendiri
Penjelajahan itu: bumi menjadi tambang emas murni.
Dari masam dan pahitnya, menuju pada manis rasa
Dari tanah yang asin, ribuan buah semi berbunga.
Pada Matahari, pangeran Tabriz, menggenggam keajaiban,
Pada setiap pohon, dari matahari terpetik kejelitaan.
Divani Shams KE-27 Jalaluddin Rumi
* Judul dari HA
-----------------------------------------------
Debu Jadi Permata
O kekasih! O kekasih! Debu kujadikan permata
O pemusik! Kupenuhi alat-alatmu dengan emas.
O yang kehausan, aku jadi penampung air hari ini;
Kujadikan tanah kering ini firdaus, sungai Alkautsar.
O yang kesepian, telah datang kegembiraan!
Semua kubawa mencicip duka bagi raja.
O pemberi usia, lihatlah aku!
Kudirikan masjid dari beratus barak,
Kutegakkan mimbar dari beratus tiang gantungan,
O yang tak pernah percaya, kubebaskan kau semua;
Selama masih penuh titah di tanganku,
kuberi kau keimanan, ambil dan pergilah.
Dari Diwani Shams Tabriz 1374:1-5
Jalaluddin Rumi, Judul dari HA
-----------------------------------------
Dilepasnya Aku Sebagai Hujan
Dimainkannya musik yang indah, aku menarikannya;
Cinta mengajakku bermain tiap waktu tiap ketika.
sesekali dia menggoda: "Enyahlah ke pojok itu saja!"
Lalu ketika hendak beranjak, aku kembali diajak.
Hari ini, diajaknya aku bermain seperti rajawali.
Apa niatnya, ketika aku mengurungnya?
Apa niatnya, ketika kemudian dia pergi?
Aku sebaik badai, Aku seriuh gumpal awan;
Titik hujan jatuh ketika dirangkulnya aku.
Awanku pemberi karena dia bagian dari laut itu;
Aku tahu tidak pada sesiapa diberi hujannya.
Ketika dihujankannya juga aku, takada jerit sakit;
Ketika dilepasnya aku, hidupku ada di pohon-pohon itu.
(Dari Diwani Shams Tabriz 208:4-9, Judul dari HA)
-------------------------------------------
Dunia Hanya Kamar*
Matsnawi IV: 809-811
Bila engkau lahir dari Adam, duduklah seperti dia
dan saksikan seluruh anak bercuru yang kau turunkan.
Apakah yang ada di teko yang tak ada di sungai itu?
Apakah yang ada di rumah yang tak ada juga di kota itu?
Dunia ini cuma teko, dan sang jiwa adalah deras sungai;
Dunia ini hanya kamar, dan sang jiwa adalah kota kekaguman.
-------------------------------------------------
Gelas yang tak Pernah Diam tanpa Diriku*
Aku pergi mengembara tanpa diriku
Kutemukan kegembiraan tanpa diriku
Rembulan sembunyi, tak dapat bertemu
Bersentuhan pipi kami, tanpa diriku
Bagi kekasih yang membebaskan jiwaku
Aku terlahir kembali tanpa diriku
Tanpa jiwa kita yang mabuk itu
Selalu berbahagia tanpa diriku
Hapuskan aku dari kenangan dulu
Mengingatku tanpa diriku
Tanpa kegembiraan yang kupinta tanpa diriku
Aku selalu akukah tanpa diriku?
Kurung saja aku, tutup semua pintu
Lalu aku masuki tanpa diriku
Takluk berlutut, hatinya terbelenggu
Juga diriku terikat rantai tanpa diriku
Dalam gelas piala Shams, mabuklah aku
Gelas yang tak pernah diam tanpa diriku.
Syair ke-32 Diwani Shams, Jalaluddin Rumi
*Judul dari HA
----------------------------------
Ia Lindap, Kita Lenyap
Syair Jalaluddin Rumi
Sepanjang hari sepanjang siang,
musik kumandang, musik yang tenang
buluh perindu, musik yang cemerlang.
Bila musik itu melindap,
kita pun perlahan lenyap.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment