Terang siang, penuh partikel kecil yang berdansa
dan sebuah perputaran besar, jiwa-jiwa kita
berdansa bersamamu, tanpa kaki, mereka berdansa.
-------------------------------------------
Kau Tebar di Bumi dan Angkasa*
Pada dunia ini engkau telah menebar harum aroma
Wewangian yang engkau sembunyikan, masih ada.
Jutaan kegembiraan yang diingkari wangi aroma
Yang telah kau tebar di muka bumi dan angkasa.
Dari sinarnya sendiri dan panas yang berpancar
Engkau membakar fikiran dan jiwa pun berkobar.
Dari hidup yang tersembahkan, tersaji keindahan
Lorong tambang dan samudera kehilangan dingin.
Berjuta jiwa dengan wajah memancar terang
Yang membatas mengurung kegelapan ruang.
Engkau mengambil kebodohan yang jelas nyata
Dan memberi mereka keraguan: seperangkat jiwa.
Mereka memberi sendiri dengan tangan sendiri
Dengan rasamanis: darah yang menggenangi.
Hati yang penuh menemu hati yang terpatahkan
Yang takberhati menangis duh terbangkitkan.
Shams Tabriz dari kemurahhatian engkau
Pada kekasih telah kuserahkan kegilaanku.
Dari Diwani Shams Tabriz
Jalaluddin Rumi Syair ke-165.
* Judul dari HA.
----------------------------------
Ke Puncak Rumah Jiwamu
O peziarah Kabah! Kau di mana? Kau di mana?
Kekasih telah ada di sini, kau kembalilah!
Kekasih-mu telah kembali bersisian rumah;
Apa yang kau cari, di padang pasir itu?
Jika kau temu wujud tak berujud bentuk Kekasih
Maka kaulah sang tuan, rumah itu, dan Kabah itu.
Lewat jalan yang sama, sepuluh kali kau tiba di Kabah;
Dan sekali saja kau mendaki ke puncak rumah jiwamu.
Diwan 648:1-4 karya Jalaluddin Rumi
Judul dari HA
-----------------------------
Kecantikan yang Purna
Keindahan hati adalah
kecantikan yang paling purna:
bibirnya membuka bagi reguk
air kehidupan.
Sungguh, itulah air sesungguhnya
yang mencurah deras
bagi seorang yang meminumnya.
Semua yang tiga menjadi satu
ketiga azimatmu kau remukkan
Itulah satu-satunya yang
tak bisa kau tahu
tanpa dalih apa-apa.
Mathnawi II, 716-718
Jalaluddin Rumi, Judul dari HA
-----------------------------------------
Kegamangan Musim Semi
Hari ini, seperti hari-hari lain, kita terbangun dengan perasaan
kosong dan dicekam ketakutan. Jangan buka pintu menuntut ilmu
dan mulailah saja membaca. Letakkan saja perangkat musik.
Biarkan keindahan yang kita cinta, menjadi apa yang kita kerjakan.
Ada seratus cara untuk bersujud dan mencium wajah tanah.
--------------------------------------------
Ketika Bukan Aku, Itulah Aku
Kataku akan kukisahkan dongeng hatiku sebaik bisaku;
Tapi air mataku terperangkap badai, hati berlumur darah.
Ah, aku gagal menceritakannya!
Kucoba mengingat pada saat kehancuran, membisu kata;
Gelas pikiran dan ingatanku, teramat mudah dipecahkan,
aku pun terhempas berkeping, seperti kaca dihancurkan.
Banyak kapal rusak terkurung dalam badai ini;
Apalah artinya perahu kecilku jika dibanding itu?
Gelombang merusakkan perahuku, tak ada yang tersisa;
Bebas dari diri sendiri, kuikatkan tubuhku di rakit.
Kini, aku tak di atas tak di bawah: Tergambarkan;
Seketika di atas ombak, lalu tersuruk ke bawah lagi.
Aku tak hirau keberadaan diri, hanya ini yang aku tahu:
Ketika aku, bukan aku; ketika bukan aku, itulah aku!
Diwani Shams Tabriz, 1419: 1-6
Jalaluddin Rumi, Judul dari HA
--------------------------------------------
Ketika Panah Bencana Mengincarku
Datang, datanglah, O Cintaku, O Cintaku.
Masuk, masuklah, sibukkan dirimu denganku.
Engkau, engkaulah taman mawarku, taman mawarku.
Bukalah, bukalah rahasiaku, rahasiaku.
Ke mana pun, kau bersamaku, kau bersamaku.
Di setiap pentas, kau teman karib, kau teman karib.
Siang-malam, kau menjadi sahabat, menjadi sahabat.
Di jebakku, kau rusa masuk perangkap, masuk perangkap.
O lilinku! Engkau sungguh benderang. Di rumahku,
engkau bagai jendela, bagai jendela.
Ketika panah bencana mengincarku, mengincarku,
engkau tameng, perisai baja, perisai baja.
(Dari Diwani Shams Tabriz 1785:3-4, Jalaluddin Rumi)
* Judul dari HA
----------------------------------
Letakkan Harpamu di Sisi Venus
Setiap pagi, mainkan organonmu, seperti ini!
Ya, wahai kekasihku, seperti ini, seperti ini!
Letakkan harpamu di sisi Venus, O bulanku!
Masukklah, gembiralah tinggalkan jejakmu, seperti ini!
Ketika kerumunan orang meminta wangi rusa jantan;
uraikan rambutmu dalam tari, seperti ini.
Bila lengkung langit menentang inginmu, sekali ketika;
Itulah saatnya kembali bersatu, O cinta meraih tanganku!
Dan tuntun aku ke pesta kemenangan, seperti ini,
Diwani Shams Tabriz,1953: 3-6
Jalaluddin Rumi, Judul dari HA
-------------------------------------
Makanan Cahaya dari Surga
Santapan hakiki manusia adalah cahaya Tuhan;
bahan makanan sesungguhnya tak tercipta baginya;
kecuali dari penyakit saja,
fikirnya telah jatuh ke angan-angan
siang dan malam hanya ini yang mesti ia santap.
Maka ia pun pucat, lunglai dan sekarat:
di mana gerangan makanan yang "disajikan surga
dengan jejak bintang ada padanya?"
Itulah santapan yang sudah dipilihkan,
yang disantap tanpa garpu, tanpa tenggorokan.
* Dari Mathnawi II: 1083-1086
Judul dari penerjemah.
0 komentar:
Post a Comment