Tuesday, 24 December 2013

jarum (JALALUDIN RUMI) 4

Tangan yang Sesekali Menunjukkan Jalan




Oh, sekarang dari tengah-tengah kami, kau pergi
Walaupun ada duka nestapa kau tolak, kau pergi

Sekali waktu lingkaran kawan kau bahagiakan
Kini dengan debu semut dan ular, kau pergi

Betapa banyak ilmu akhirnya kau tinggalkan
Betapa seperti pikiran, dalam rahasia kau pergi

Betapa ada tangan yang sesekali menunjuk jalan
Betapa ada kaki yang dituntun taman, kau pergi

Lembut dan menyentuh, kau pukau kau tawan
Lalu debu dunia nestapa dukamu, kau pergi

Kau sesali cemburu, berjuang menghentikan
Ziarah kematian, hidupmu tertahan, kau pergi

Hendak ke mana, debu kabutmu tak tertemukan
Jalan berdarah ini, mengilang kabut, kau pergi

Diamlah O hati, belenggu lidah jiwa terkekangkan
Betapa nyala itu memutar dan menikung, kau pergi


* Dari Diwani Shams Tabriz karya
Jalaluddin Rumi, Judul dari HA.

------------------------------------

Bejana Rapuh

Beri aku mulut senganga langit itu
agar bisa kusebutkan hakikat Dia Sesungguhnya,
bahasa yang seluas dendam rindu.

Bejana rapuh di dalam tubuhku sering kali pecah.
Pun ketika aku mabuk dan menghilang tiga hari
setiap bulan ketika purnama rembulan.

Untuk siapa saja yang mencintamu, hari-hari
selalu saja seperti hari tak kasat mata ini.

Aku kehilangan alur kisah yang kuceritakan.
Gajahku menjelajahi mimpinya lagi, di Hindustan.
Narasi, puisi, hancur, tubuhku,
sebuah kehilangan, sebuah kepulangan.

Sahabat, aku menyusut sehelai rambut mencoba menyebutkan kisahmu.
Maukah kau menceritakan kisah untukku?
Sudah kukarang banyak kisah kasih.
Kini aku ingin kisah rekaan.
Beri tahu aku!
Kebenaran adalah, bila kau bicara, bukan aku.
Akulah Sinai, dan engkaulah Musa yang melangkah.
Puisi ini adalah gema apa yang kau kata.
Sebentang pulau tak bisa bicara, tak tahu apa-apa!
Kalau pun ia bisa, ah alangkah terbatasnya.

Tubuh adalah sebuah perangkat menghitung
astronomi jiwa.
Lihatlah langit dengan astrolabium itu
dan jadilah penghuni samudera.

Kenapa percakapan ini mengacaukan pikiran?
Bukan salahku, bila aku meracau kalimat.
Kau juga bertingkah sama.
kau akuikah kegilaan-cintaku?

Katakan saja, ya!
Dalam bahasa apa kau ingin menyebutnya? Arab?
Ataukah Persia? Atau bahasa apa? Sekali lagi,
Aku mesti diikat ketat.
Bawa kemari temali ikal dari rambutmu.

Nah, kini aku ingat lagi kisah itu.
Manusia sesungguhnya memandangi sepatu tua
dan jaket kulit domba. Setiap hari
dia naik ke loteng rumahnya dan melihat
sepatu kerja dan jubah lusuh.
Inilah kebijakannya, mengingat liat yang hakikat.
Dan tak meneguk mabuk ego dan kesombongan.

Melihat lagi pada sepatu koyak dan jubah lusuh
adalah doa, adalah ibadah.

Kerja Yang Maha Mutlak, adalah kerja tanpa apa-apa.
Bangsal dan bahan bakunya
adalah apa yang tidak ada.

Cobalah jadikan dirimu selembar kertas tanpa coret apa-apa.
Jadilah sebuah titik di bumi yang tak ditumbuhi apa-apa,
titik yang mungkin saja ada yang bisa ditanam di sana,
mungkin saja itu benih, dari Yang Maha Mutlak.


Matsnawi V; 1884-1920; 1959-64
Poetic version by Coleman Barks
"The Essential Rumi"
HarperSanFrancisco, 1995

:: Diterjemahkan dengan iseng oleh Hasan Aspahani

--------------------------------

Tertutuplah Pintu-Bahasa

Ada kecupan yang sungguh kami ingini
pada sepanjang hidup kami,
sentuhan sang Jiwa pada tubuh kami.

Air laut memohon mutiara
agar memecahkan cangkangnya.

Dan bunga lili, sepenuh nafsu
menunggu Kekasih yang liar!

Ketika malam, kubuka jendela
kupinta bulan datang bertandang
dan membenamkan wajahnya pada wajahku.
Bernafas ke dalam diriku.

Menutup pintu-bahasa
Membuka jendela-cinta.

Bulan yang tak memerlukan pintu
ia hanya rindu jendela yang membuka.

------------------------------------

Yang Memuja Mata, Tak akan Punya Penglihatan

Mengapa mengira yang remeh ini adalah jiwa
dan sebongkah bijih emas harta yang diburu?
Kau mencari emas, menggali dalam, mengapa?
Merenungkan bumi menjelma jadi langit?
Mengapa menimbangkan godaan yang menakutkan
sebagai keindahah negeri?
Mengapa seperti cacing menggeliat syahwat bumi
dan menganggap kekasih lebih hina dari debu?
Mengapa mual dengan cinta dan kau usir dia
Mengira dalam cinta, padahal tenggelam dalam nafsu?
Mengapa membiarkan asap ketakpedulian memenuh mata dengan tangis?
Mengapa menganggap kesalihan adalah wujud ketakutan yang bodoh?
Takluk pada nafsu pertanda tiba kutuk itu
Lalu mengapa minta isyarat ini dihapuskan?
Semua tanyaku, mengapa, kutanya sendiri
Seperti mereka, kau kira aku bertanya pada-Nya?
Shams Tabrizi, unjukkan dirimu, sinarmu
Mereka yang memuja mata, tak akan punya penglihatan!


Syair ke-151 Diwani Shams, Karya Jalaluddin Rumi
* Judul dari HA



------------------------------------

Yang Mencumbu dan Yang Takluk

Dalam cahayamu aku belajar mencintai.
Dalam keindahanmu, kutahu bagaimana menggubah syair.
Engkau berdansa di dalam dadaku.
Tak ada seorang pun yang melihat tari-Mu.
Aku pun hanya sesekali mampu,
dan yang kulihat itu menjelma jadi syair ini.

0 komentar:

Post a Comment

 
;