Saturday, 20 September 2014

METODOLOGI HADITS

RESENSI : BUKU METODOLOGI KRITIS HADITS

(Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat perkuliahan ulumul Hadist)










Oleh:

Muhammad Iqbal Mansulrudin
12.2.1.211.004.


SEKOLAH TINGGI FILSAFAT ISLAM (STFI) SADRA JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2014-2015

RESENSI : BUKU METODOLOGI KRITIS HADITS

Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan dunia hadits dan seluk beluknya, namun jurusan dan SKS saya mengharuskan saya untuk mendalami hadits dengan detail dan ke akar-akarnya. Setelah saya membaca tentang metodologi kritis hadits, saya menemukan bahwa ada beberapa syarat hadits itu disebut dengan sohih dan dapat dipercaya atau tidak.
Salah satunya dengan pendekatan matan yaitu tulisan dari hadits itu dan sanad atau perowi yang memberitahukan hadits ini, dari siapa ke siapa dan terus sampai kepada nabi Muhammad.
Sebelum kita masuk kepada pembahasan hadits ini, kita harus tahu terlebih dahulu apa pengertian hadits. Hadits adalah perkataan, perbuatan dan takrir nabi.. Yang dimaksud dengan taqrir adalah ketetapan nabi atau diamnya nabi bisa disebutkan dengan taqrir juga.
Bersama al-Qur’an, hadis menjadi krusial, tidak saja karena posisinya sebagai sumber ajaran Islam, tetapi juga karena ia menjadi tambang informasi bagi pembentukan disiplin ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fiqh, historiografi dan bangunan budaya Islam. Tetapi, berbeda dengan al-Qur’an, hadis tidaklah bersifat qath’iy al-wurud, sebab sebagian besar periwayatannya tidak melalui proses yang tawatur. Karena itu sebagaian besar hadis Nabi bersifat zanniy al-wurud, yakni “diduga kuat” disampaikan Nabi. Di sisi lain, tidak tercatatnya sebagian besar hadis Nabi sejak masa yang paling awal dan penyebarannya secara lisan membawa implikasi atas sifat orisinil hadis, baik itu terhadap sebagian teks hadis karena riwayat bi al-ma’na, maupun terhadap keseluruhan: sanad dan matan, karena pemalsuan-pemalsuan.
Melihat fenomena hadis yang demikian, studi kritis atas hadis nabi yang berisikan telaah ulang dan peengembangan pemikiran atas hadis Nabi tampaknya sangat relevans sekali. Tetapi, kenyataannya—terutama sekali dalam pemahaman hadis—justru para ulama mengembangkan sikap mengendalikan diri dan mengutamakan sikap reserve (segan). Ini mungkin sekali disebabkan kekhawatiran akan julukan inkar sunnah yang oleh kritikus-kritikus hadis dahulu tidak dirasakan. Bila dibandingkan dengan al-Qur’an, tampaknya pengembangan pemikiran terhadap al-Qur’an sangat terbuka sekali, bahkan tanpa kekhawatiran penafsir akan berkurangnya otoritas al-Qur’an.
Tulisan ini, mencoba melihat studi kritis atas hadis Nabi, sebuah pandangan umum meliputi segi kesejarahan dan relevansinya. Kritik di sini haruslah dipahami dalam artian positif seperti yang akan dijelaskan selanjutnya. Tetapi di sini dicoba dalam skala yang lebih luas; tidak hanya studi kritis pada aspek material: sanad dan matan, tetapi juga dimensi pemahaman atas hadis Nabi (fiqh al-hadis).
Istilah Kritik Hadis

Dan hadits itu berbeda-beda jenisnya, ada yang disebut dengan hadits hasan, dhoip, ahad, mutawattir, dll. Itu disebabkan karena berbeda tingkatan kepercayaan dari siapa yang meriwayatkan dan matan hadits tersebut, karena berbeda faham antara yang meriwayatkannya. Karena setiap orang mempunyai pemikiran dan metodologi pengambilan hadits yang berbeda pula.
Saya mengambil tema metodologi hadits karena teman saya telah meresensi bab 1 dan saya adalah bab 2 yaitu tentang metodolgi hadits hasan
Kenapa kita perlu mencari hadits? Mana yang benar-benar hadits berasal dari Rasul dan bukan dari Rasul? Karena, hadits sendiri dijadikan acuan oleh umat manusia, khususnya umat Islam sebagai pegangan setelah Al-Quran.
Karena, menurut orang Islam hadits adalah perkataan yang berasal dari orang yang maksum yaitu nabi Muhammad dan pasti kebenarannya karena sebagaimana kita tahu bahwa nabi Muhammad adalah orang yang amanah dan dapat dipercaya.
Sehingga mau tidak mau, kita harus mencari hukum selain daripada hukum Al-quran karena di Al-quran sendiri tidak dijelaskan secara jelas tentang hukum-hukum.
Karena, Al-quran hanya menjelaskan hal yang umum-umum saja agar kita selamat di dunia dan akhirat. Masalah ibadah dan lain-lain dijelaskan dengan perkataan nabi Muhammad, perilaku beliau dll.
Menurut saya penepatan hadits nitu sahih atau tidak itu menggunakan pendekatan survei dan sisi psikologist dari perawi. Kita tahu bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa dan tidak ada yang sempurna, kecuali pendapatnya syiah bahwa nabi dan keluarganya adalah maksum. Dijauhkan dari kesalahan dan lupa. Itu tergantung dan kembali kepada persepsi kita masing-masing.
Dalam buku metodologi hadis ini ada beberapa kriteria bahwa hadits bisa dikatakan sebagai hadits yang sohih yaitu :

1.      Hadits harus logis alias masuk akal sanadnya, tidak ada yang aneh dan dibuat-buat.
Disini dijelaskan bahwa terkadang hadits dipengaruhi psikologist dari perawinya dan penyampai hadits tersebut, sehingga susah untuk membedakan apakah itu perkataan perawi atau perkataan langsung nabi.
Karena, jika bukan perkataan nabi. Maka tidak bisa kita jadikan acuan dalam penetapan hukum. Tapi menurut pendapat saya, saya tidak peduli apakah hadits itu sahih atau tidak dan berasal dari nabi atau tidak? Selama hadits itu masih mengandung kebaikan dan kebenaran, dan tidak melanggar kepada kemanusiaan, Kenapa tidak kita praktekan?
Toh, masih banyak hadits yang lain dan tidak pernah kita praktekan, Dan masih banyak orang yang mengaku beragama Islam dan shalatpun mereka tidak pernah, Jadi buat apa kita mengurusi hadits yang tak mereka anggap dan sepelakan.


2.      Perawi harus adil
Maksud adil disini harus bijaksana dan dalam kehidupan sehari-hari dan harus berbuat kebaikan dan berakhlak baik. Tidak bisa kita percaya orang yang fasiq dan tidak dapat dipercaya karena ini menyangkut kepentingan umat.
3.      Perawi harus kuat hafalannya
Disini dimaksudkan adalah agar perawi harus tahu dan hafal matan hadits dan kuat hafalannya, agar terhindar dari kesalahan kata-kata walaupun sedikit saja,
Karena sebagaimana kita tahu jika satu kata berubah maka maknanya pun berubah , satu kata dengan kata “tidak” dan dengan tidak menggunakan kata “tidak” . Maka itu pun berubah maknanya.
4.      Hadits harus sampai kepada Rasulullah
Maksud disini adalah bahwa hadits harus sampai dari periwayatan pertama sampai kepada periwayatan terakhir harus sampai kepada Rasulullah, karena jika terputus maka tidak bisa dikategorikan sebagai hadits. Ada juga hadits tanpa perantara para perawinya ini disebut dengan hadits ahad.
Didalam Buku ini juga di sindir .
Semua persyaratan ini, baik yang menyangkut dengan sanad maupun matan sangat ketat sekali. Itu sebabnya pada setiap persyaratan tersebut dilakukan sejumlah pengujian dan analisis. Kriteria sanadbersambung misalnya, kritik dilakukan dengan telaah atas sejarah hidup masing-masing rawi dan lambang-lambang periwayatan yang menghubung antara satu rawi dengan rawi lain. Telaah tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebersambungan sanad hanya sebatas kesezamanan (mu’sharah) atau pertemuan dalam kapasitas guru dan murid (liqa’).Kualitas pribadi (‘adil) dilakukakan dengan mengamati popularitas keutamaan rawi atau integritas kepribadian yang bersangkutan di kalangan ulama hadis, menyeleksi penilaian dari para kritikus hadis, dan penerapan kaedah-kaedah jarh dan ta’dil. Sementara menyangkut dengan kapasitas intelektual sebagai periwayat hadis (dhabit), dilakukan penilaian berdasar kesaksian para ulama, dan menyesuaikan riwayat rawi dengan rawi yang dhabit. Kecermatan yang cukup tinggi dalam melakukan kritik sanad dan matan, tampaknya tidak dikenal dalam ilmu sejarah. Syuhudi, mengutip Louis Gottschalk, menyatakan bahwa dalam ilmu sejarah kualitas para saksi hanya bersifat umum, tidak dirinci sedemikian ketat. Misalnya ketentuan menyatakan, kesaksian pengamat dan pelapor yang terdidik atau berpengalaman lebih unggul dari pada yang tidak terdidik atau yang tidak berpengalaman. (Syuhudi Ismail, 1995: 205). Demikian pula lafal-lafal yang beragam dan cukup rumit yang dikemukakan oleh ulama hadis untuk memberi kualifikasi atas integritas kepribadian dan kapasitas intelektual rawi-rawi, tampaknya hanya ada dalam ilmu hadis, tidak dikenal dalam ilmu sejarah.
Pengujian terhadap para pelapor hadis atau rawi yang telah dilakukan sejak awal telah melahirkan cabang ilmu hadis tersendiri yang disebut dengan al-Jarh wa al-Ta’dil. Yakni persyaratan bagi seorang rawi dalam kaitan diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkan. Al-jarh sendiri mengandung pengertian yang berkaitan dengan cacat-cacat seorang perawi yang menyebabkan hadisnya ditolak. Sedangkan al-ta’dil berkaitan dengan adalat al-rawiy yang karena itu hadisnya dapat diterima. Berkaitan dengan jarh wa ta’dil ini, seperti yang dikatakan Afif Muhammad, tampaknya sudah selesai dilakukan dalam pengertian bahwa kredibilitas para rawi telah dibukukan secara baik oleh para kritikus hadis. (Afif Muhammad, 1992: 28). Pernyataan ini dapat saja diterima mengingat banyaknya karya-karya tulis di bidang ini yang muncul dari yang sederhana sampai dengan yang paling lengkap. Tentu saja kita berhutang budi pada kritikus-kritikus yang telah melahirkan karya semisal Mizan al-I’tidal, Tahdzib al-Tahdzib, dan Tahdzib al-Kamal, karena melalui kitab semacam ini kita dapat melacak kredibilias para perawi hadis.
Berkaitan dengan kritik sanad dan matan, sebagian orang menyatakan bahwa kritik sanadmendapat prioritas dari ulama-ulama hadis. Muhammad Afif misalnya, menyatakan bahwa meskipun kritik matan telah dirintis sejak awal oleh para sahabat generai pertama, tampaknya belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini, kriteria sahihnya sebuah hadis, masih ditentukan oleh kesahahihan sanadnya. Al-Bukhari sendiri, memaksudkan sahih di situ adalah sahih sanad-nya. Ini terlihat dengan jelas bila kita memperhatikan keseluruhan judul yang diberikan pada kitab sahihnya, yakni Al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtshar min ‘Umur Rasulillah (saw) wa Sunanih wa Ayyamih. Dalam judul tersebut tertera secara jelas kalimatal-Jami’ al-Shahih al-Musnad (Himpunan Hadis yang Shahih Sanadnya). (Afif Muhammad, 1992: 29). Agaknya memang sulit dihindari kesan prioritas kiritik pada sanad ketimbang matan, meskipun pada kenyataannya kesungguhan ulama hadis dalam meneliti matan tak dapat diragukan. Hal ini disebabkan karena sanad hadis merupakan keharusan pertama dalam kritik hadis, sebab sanad yang tidak dapat dipertahankan validitasnya matannya tak dapat dinyatakan dari Rasul. Karenanya para ulama hadis terdahulu tampaknya telah terserap waktu dan energinya oleh studi atas sanad hadis.
Adalah sahabat
Adalah sahabat adalah keadilan sahabat, maksud dari kata ini adalah apakah benar sahabat mempunyai sifat yang adil atau tidak? Karena, setiap mazhab dan kepala orang mempunyai berbeda pendapat, pengalaman, bahan referensi, dan bahan rujukan yang dipakai.
Sehingga sebagian kaum syiah percaya bahwa khulafa urrasyidin tidak semua bisa meriwayatkan hadits dan dipilih. Menurut sunni ada sebagian juga yang bisa dijadikan rujukan hadits. Karena, kaum syiah percaya bahwa ada sahabat yang suka mabuk-mabukan dan tidak pantas untuk dijadikan acuan hadits. Karena, hadits itu harus di riwayatkan oleh orang yang soheh dan tidak boleh diriwayatkan oleh sembarang orang, terlebih itu. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Karena, berbeda pendapat dan pandangan.
Beberapa kategori hadits
1.      Hadits hasan
Hadis hasan adalah hadis yang benar dan dapat dipercaya kesahihannya
2.      Hadits dhaip
Hadits yang lemah
3.      Hadits mutawattir
4.      Hadits ahad


Penutup
Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahih, tidaklah menutup kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru. Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tanpak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.
Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi menjadi kafir. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang justru akan mengkanter hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi yang mula-mula.














0 komentar:

Post a Comment

 
;