RESENSI : BUKU METODOLOGI KRITIS HADITS
(Diajukan
untuk memenuhi salah satu syarat perkuliahan ulumul Hadist)
Oleh:
Muhammad Iqbal Mansulrudin
12.2.1.211.004.
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT ISLAM (STFI) SADRA JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2014-2015
RESENSI : BUKU METODOLOGI KRITIS HADITS
Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan dunia hadits dan
seluk beluknya, namun jurusan dan SKS saya mengharuskan saya untuk mendalami
hadits dengan detail dan ke akar-akarnya. Setelah saya membaca tentang
metodologi kritis hadits, saya menemukan bahwa ada beberapa syarat hadits itu
disebut dengan sohih dan dapat dipercaya atau tidak.
Salah satunya dengan pendekatan matan yaitu tulisan dari hadits itu
dan sanad atau perowi yang memberitahukan hadits ini, dari siapa ke siapa dan
terus sampai kepada nabi Muhammad.
Sebelum kita masuk kepada pembahasan hadits ini, kita harus tahu
terlebih dahulu apa pengertian hadits. Hadits adalah perkataan, perbuatan dan
takrir nabi.. Yang dimaksud dengan taqrir adalah ketetapan nabi atau diamnya
nabi bisa disebutkan dengan taqrir juga.
Bersama al-Qur’an, hadis menjadi krusial, tidak saja
karena posisinya sebagai sumber ajaran Islam, tetapi juga karena ia menjadi
tambang informasi bagi pembentukan disiplin ilmu-ilmu lain, seperti tafsir,
fiqh, historiografi dan bangunan budaya Islam. Tetapi, berbeda dengan
al-Qur’an, hadis tidaklah bersifat qath’iy al-wurud, sebab
sebagian besar periwayatannya tidak melalui proses yang tawatur.
Karena itu sebagaian besar hadis Nabi bersifat zanniy al-wurud,
yakni “diduga kuat” disampaikan Nabi. Di sisi lain, tidak tercatatnya sebagian
besar hadis Nabi sejak masa yang paling awal dan penyebarannya secara lisan
membawa implikasi atas sifat orisinil hadis, baik itu terhadap sebagian teks
hadis karena riwayat bi al-ma’na, maupun terhadap keseluruhan: sanad dan matan,
karena pemalsuan-pemalsuan.
Melihat fenomena hadis yang demikian, studi kritis
atas hadis nabi yang berisikan telaah ulang dan peengembangan pemikiran atas
hadis Nabi tampaknya sangat relevans sekali. Tetapi, kenyataannya—terutama sekali
dalam pemahaman hadis—justru para ulama mengembangkan sikap mengendalikan diri
dan mengutamakan sikap reserve (segan). Ini mungkin sekali
disebabkan kekhawatiran akan julukan inkar sunnah yang oleh kritikus-kritikus
hadis dahulu tidak dirasakan. Bila dibandingkan dengan al-Qur’an, tampaknya
pengembangan pemikiran terhadap al-Qur’an sangat terbuka sekali, bahkan tanpa
kekhawatiran penafsir akan berkurangnya otoritas al-Qur’an.
Tulisan ini, mencoba melihat studi kritis atas hadis
Nabi, sebuah pandangan umum meliputi segi kesejarahan dan relevansinya. Kritik
di sini haruslah dipahami dalam artian positif seperti yang akan dijelaskan
selanjutnya. Tetapi di sini dicoba dalam skala yang lebih luas; tidak hanya
studi kritis pada aspek material: sanad dan matan,
tetapi juga dimensi pemahaman atas hadis Nabi (fiqh al-hadis).
Istilah
Kritik Hadis
Dan hadits itu berbeda-beda jenisnya, ada yang disebut dengan
hadits hasan, dhoip, ahad, mutawattir, dll. Itu disebabkan karena berbeda
tingkatan kepercayaan dari siapa yang meriwayatkan dan matan hadits tersebut,
karena berbeda faham antara yang meriwayatkannya. Karena setiap orang mempunyai
pemikiran dan metodologi pengambilan hadits yang berbeda pula.
Saya mengambil tema metodologi hadits karena teman saya telah meresensi
bab 1 dan saya adalah bab 2 yaitu tentang metodolgi hadits hasan
Kenapa kita perlu mencari hadits? Mana yang benar-benar hadits
berasal dari Rasul dan bukan dari Rasul? Karena, hadits sendiri dijadikan acuan
oleh umat manusia, khususnya umat Islam sebagai pegangan setelah Al-Quran.
Karena, menurut orang Islam hadits adalah perkataan yang berasal
dari orang yang maksum yaitu nabi Muhammad dan pasti kebenarannya karena
sebagaimana kita tahu bahwa nabi Muhammad adalah orang yang amanah dan dapat
dipercaya.
Sehingga mau tidak mau, kita harus mencari hukum selain daripada
hukum Al-quran karena di Al-quran sendiri tidak dijelaskan secara jelas tentang
hukum-hukum.
Karena, Al-quran hanya menjelaskan hal yang umum-umum saja agar
kita selamat di dunia dan akhirat. Masalah ibadah dan lain-lain dijelaskan
dengan perkataan nabi Muhammad, perilaku beliau dll.
Menurut saya penepatan hadits nitu sahih atau tidak itu menggunakan
pendekatan survei dan sisi psikologist dari perawi. Kita tahu bahwa manusia itu
tempatnya salah dan lupa dan tidak ada yang sempurna, kecuali pendapatnya syiah
bahwa nabi dan keluarganya adalah maksum. Dijauhkan dari kesalahan dan lupa.
Itu tergantung dan kembali kepada persepsi kita masing-masing.
Dalam buku metodologi hadis ini ada beberapa kriteria bahwa hadits
bisa dikatakan sebagai hadits yang sohih yaitu :
1.
Hadits harus logis alias masuk akal sanadnya, tidak ada yang aneh
dan dibuat-buat.
Disini dijelaskan bahwa terkadang hadits dipengaruhi psikologist
dari perawinya dan penyampai hadits tersebut, sehingga susah untuk membedakan
apakah itu perkataan perawi atau perkataan langsung nabi.
Karena, jika bukan perkataan nabi. Maka tidak bisa kita jadikan
acuan dalam penetapan hukum. Tapi menurut pendapat saya, saya tidak peduli
apakah hadits itu sahih atau tidak dan berasal dari nabi atau tidak? Selama
hadits itu masih mengandung kebaikan dan kebenaran, dan tidak melanggar kepada
kemanusiaan, Kenapa tidak kita praktekan?
Toh, masih banyak hadits yang lain dan tidak pernah kita praktekan,
Dan masih banyak orang yang mengaku beragama Islam dan shalatpun mereka tidak
pernah, Jadi buat apa kita mengurusi hadits yang tak mereka anggap dan
sepelakan.
2.
Perawi harus adil
Maksud adil disini harus bijaksana dan dalam kehidupan sehari-hari
dan harus berbuat kebaikan dan berakhlak baik. Tidak bisa kita percaya orang
yang fasiq dan tidak dapat dipercaya karena ini menyangkut kepentingan umat.
3.
Perawi harus kuat hafalannya
Disini dimaksudkan adalah agar perawi harus tahu dan hafal matan
hadits dan kuat hafalannya, agar terhindar dari kesalahan kata-kata walaupun
sedikit saja,
Karena sebagaimana kita tahu jika satu kata berubah maka maknanya
pun berubah , satu kata dengan kata “tidak” dan dengan tidak menggunakan kata
“tidak” . Maka itu pun berubah maknanya.
4.
Hadits harus sampai kepada Rasulullah
Maksud disini adalah bahwa hadits harus sampai dari periwayatan
pertama sampai kepada periwayatan terakhir harus sampai kepada Rasulullah,
karena jika terputus maka tidak bisa dikategorikan sebagai hadits. Ada juga hadits
tanpa perantara para perawinya ini disebut dengan hadits ahad.
Didalam Buku ini juga di sindir .
Semua persyaratan ini, baik yang menyangkut dengan sanad maupun
matan sangat ketat sekali. Itu sebabnya pada setiap persyaratan tersebut
dilakukan sejumlah pengujian dan analisis. Kriteria sanadbersambung
misalnya, kritik dilakukan dengan telaah atas sejarah hidup masing-masing rawi
dan lambang-lambang periwayatan yang menghubung antara satu rawi dengan rawi
lain. Telaah tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebersambungan sanad hanya
sebatas kesezamanan (mu’sharah) atau pertemuan dalam kapasitas guru dan
murid (liqa’).Kualitas pribadi (‘adil) dilakukakan dengan
mengamati popularitas keutamaan rawi atau integritas kepribadian yang
bersangkutan di kalangan ulama hadis, menyeleksi penilaian dari para kritikus
hadis, dan penerapan kaedah-kaedah jarh dan ta’dil.
Sementara menyangkut dengan kapasitas intelektual sebagai periwayat hadis (dhabit),
dilakukan penilaian berdasar kesaksian para ulama, dan menyesuaikan riwayat
rawi dengan rawi yang dhabit. Kecermatan yang cukup tinggi dalam
melakukan kritik sanad dan matan, tampaknya tidak
dikenal dalam ilmu sejarah. Syuhudi, mengutip Louis Gottschalk, menyatakan
bahwa dalam ilmu sejarah kualitas para saksi hanya bersifat umum, tidak dirinci
sedemikian ketat. Misalnya ketentuan menyatakan, kesaksian pengamat dan pelapor
yang terdidik atau berpengalaman lebih unggul dari pada yang tidak terdidik
atau yang tidak berpengalaman. (Syuhudi Ismail, 1995: 205). Demikian pula
lafal-lafal yang beragam dan cukup rumit yang dikemukakan oleh ulama hadis
untuk memberi kualifikasi atas integritas kepribadian dan kapasitas intelektual
rawi-rawi, tampaknya hanya ada dalam ilmu hadis, tidak dikenal dalam ilmu
sejarah.
Pengujian terhadap para pelapor hadis atau rawi yang
telah dilakukan sejak awal telah melahirkan cabang ilmu hadis tersendiri yang
disebut dengan al-Jarh wa al-Ta’dil. Yakni persyaratan bagi seorang
rawi dalam kaitan diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkan. Al-jarh sendiri
mengandung pengertian yang berkaitan dengan cacat-cacat seorang perawi yang
menyebabkan hadisnya ditolak. Sedangkan al-ta’dil berkaitan
dengan adalat al-rawiy yang karena itu hadisnya
dapat diterima. Berkaitan dengan jarh wa ta’dil ini, seperti
yang dikatakan Afif Muhammad, tampaknya sudah selesai dilakukan dalam
pengertian bahwa kredibilitas para rawi telah dibukukan secara baik oleh para
kritikus hadis. (Afif Muhammad, 1992: 28). Pernyataan ini dapat saja diterima
mengingat banyaknya karya-karya tulis di bidang ini yang muncul dari yang
sederhana sampai dengan yang paling lengkap. Tentu saja kita berhutang budi
pada kritikus-kritikus yang telah melahirkan karya semisal Mizan
al-I’tidal, Tahdzib al-Tahdzib, dan Tahdzib al-Kamal, karena melalui
kitab semacam ini kita dapat melacak kredibilias para perawi hadis.
Berkaitan dengan kritik sanad dan matan,
sebagian orang menyatakan bahwa kritik sanadmendapat prioritas dari
ulama-ulama hadis. Muhammad Afif misalnya, menyatakan bahwa meskipun kritik
matan telah dirintis sejak awal oleh para sahabat generai pertama, tampaknya
belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini, kriteria sahihnya sebuah
hadis, masih ditentukan oleh kesahahihan sanadnya. Al-Bukhari
sendiri, memaksudkan sahih di situ adalah sahih sanad-nya. Ini
terlihat dengan jelas bila kita memperhatikan keseluruhan judul yang diberikan
pada kitab sahihnya, yakni Al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtshar
min ‘Umur Rasulillah (saw) wa Sunanih wa Ayyamih. Dalam judul tersebut
tertera secara jelas kalimatal-Jami’ al-Shahih al-Musnad (Himpunan
Hadis yang Shahih Sanadnya). (Afif Muhammad, 1992: 29). Agaknya
memang sulit dihindari kesan prioritas kiritik pada sanad ketimbang matan,
meskipun pada kenyataannya kesungguhan ulama hadis dalam meneliti matan tak
dapat diragukan. Hal ini disebabkan karena sanad hadis
merupakan keharusan pertama dalam kritik hadis, sebab sanad yang
tidak dapat dipertahankan validitasnya matannya tak dapat dinyatakan dari
Rasul. Karenanya para ulama hadis terdahulu tampaknya telah terserap waktu dan
energinya oleh studi atas sanad hadis.
Adalah sahabat
Adalah sahabat adalah keadilan sahabat, maksud dari kata ini adalah
apakah benar sahabat mempunyai sifat yang adil atau tidak? Karena, setiap
mazhab dan kepala orang mempunyai berbeda pendapat, pengalaman, bahan
referensi, dan bahan rujukan yang dipakai.
Sehingga sebagian kaum syiah percaya bahwa khulafa urrasyidin tidak
semua bisa meriwayatkan hadits dan dipilih. Menurut sunni ada sebagian juga
yang bisa dijadikan rujukan hadits. Karena, kaum syiah percaya bahwa ada
sahabat yang suka mabuk-mabukan dan tidak pantas untuk dijadikan acuan hadits.
Karena, hadits itu harus di riwayatkan oleh orang yang soheh dan tidak boleh
diriwayatkan oleh sembarang orang, terlebih itu. Tergantung dari sudut pandang
mana kita melihatnya. Karena, berbeda pendapat dan pandangan.
Beberapa kategori hadits
1.
Hadits
hasan
Hadis hasan adalah hadis yang benar dan dapat dipercaya
kesahihannya
2.
Hadits
dhaip
Hadits yang lemah
3.
Hadits
mutawattir
4.
Hadits
ahad
Penutup
Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis
Nabi yang berisi apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah
semestinya dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah
banyak bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahih, tidaklah
menutup kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun
karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru.
Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tanpak
sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.
Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan
terkadang ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya.
Tetapi ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi
menjadi kafir. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang justru
akan mengkanter hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditan
hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi
yang mula-mula.
0 komentar:
Post a Comment