Tuesday 24 December 2013

PUISI-PUISI JALALUDIN RUMI

Aku Menyala Bagai Lilin









Seperti lilin, menyalalah aku, memantulkan sinar
Tiba keberuntunganku, kuterangi diri bagai lilin
Janji hembus pagi, menyatu pada siang malammu
terbakar, kuning, bergoyang, menangis, bagai lilin
Alun rambutmu bagai gunting menuju puncak jiwaku
Di api yang memisah terbakar aku habis, bagai lilin.
Mutiara menderu dari laut mataku, ke bungah dadaku
Hatiku tersulut mengirim pijarnya, bagai lilin.
Kobar matahari jadi lentera surga, sungguh tampak
Setiap pagi tangisku tak terbendung, bagai lilin
Rupa-Mu bagai musim semi, Api-Mu melawan duka
Berapa lama terbakar jarak terpisah, bagai lilin.
Dari kenangan cahaya-Mu, setiap malam menyala terbang
Bila hanya hati yang terbakar, jiwaku pun ingin bagai lilin.
Berapa lama membakar diri Shams Tabriz, cintamu berseri.
Tak ada yang kita tahu kecuali terbakar, bagai lilin.


[dari Diwani Shams 103]



------------------------------------------------------

Akulah Pelukis, Penggubah Gambar*

Akulah pelukis, penggubah gambar-gambar;
Setiap waktu, bentuk-bentuk indah kulakar,
Lalu tersebab hadirmu, semua kelebur kubiar.
Kuseru beratus khayal, lalu kuhidupi dengan jiwa,
Ketika tersentuh engkau, kubakar pada api bara.

Kau sahabat penuang piala? Para saudagar anggur?
Ataukah musuh bagi mereka yang tenang datar?

Setiap rumah kubangun, engkaukah si penghancur?
Padamu jiwa menyatu, denganmu jiwa erat membaur.
Wahai, kuhargai jiwa, sebab wewangianmu telah kupunya.
Padaku mengalir darah, pada debumu tetesnya bertanya:
'Aku sewarna dengan cintamu, pasangan kekasih jiwa.'

Di rumah: air dan tanah, tanpamu hati terkurung terbiar.
Wahai, kekasih, masuklah, atau kutinggal saja terlantar.


Dari Divan-e Shams, syair ke-34, Jalaluddin Rumi
* judul dari HA
-------------------------------------------------------


Anggur tak Terwadahi Gelas

O kekasih! O kekasih! Hilang sudah gelasku!
Aku telah mencicipi anggur yang tak terwadahi gelas.
Aku mabuk dengan anggur min ladunn**, dan
kabarkan pada sang jaksa itu.
Agar kaurasa juga, kubawa untuknya-untukmu anggur itu!
Agar kaurasa juga, kubawa untuknya-untukmu anggur itu!
O raja kebenaran! Telah kau temuikah penyemu ulung seperti aku?
Dengan hidup pelayan-pelayanmu aku hidup
Dengan orang-orang yang mati aku pun mati!
Dengan kemolekan hati menggairahkan,
mekar aku bagai bunga-bunga perdu
dengan hati yang dingin menolakmu,
hilang gairahku bagai musim luruh.


(Dari Diwani Shams, 1371:1-4, Jalaluddin Rumi)
* Judul dari HA
** Merujuk kepada konsep sufi 'ilm-i ladunni (sebuah pengetahuan tentang kehadiran Tuhan) merujuk ke Alquran Surah 18 ayat 65: ...waallahumnahu min ladunna 'ilman (...dan kami berkahi mereka dengan ilmu dari kami sendiri).

------------------------------------------------------

Bejana Rapuh

Beri aku mulut senganga langit itu
agar bisa kusebutkan hakikat Dia Sesungguhnya,
bahasa yang seluas dendam rindu.

Bejana rapuh di dalam tubuhku sering kali pecah.
Pun ketika aku mabuk dan menghilang tiga hari
setiap bulan ketika purnama rembulan.

Untuk siapa saja yang mencintamu, hari-hari
selalu saja seperti hari tak kasat mata ini.

Aku kehilangan alur kisah yang kuceritakan.
Gajahku menjelajahi mimpinya lagi, di Hindustan.
Narasi, puisi, hancur, tubuhku,
sebuah kehilangan, sebuah kepulangan.

Sahabat, aku menyusut sehelai rambut mencoba menyebutkan kisahmu.
Maukah kau menceritakan kisah untukku?
Sudah kukarang banyak kisah kasih.
Kini aku ingin kisah rekaan.
Beri tahu aku!
Kebenaran adalah, bila kau bicara, bukan aku.
Akulah Sinai, dan engkaulah Musa yang melangkah.
Puisi ini adalah gema apa yang kau kata.
Sebentang pulau tak bisa bicara, tak tahu apa-apa!
Kalau pun ia bisa, ah alangkah terbatasnya.

Tubuh adalah sebuah perangkat menghitung
astronomi jiwa.
Lihatlah langit dengan astrolabium itu
dan jadilah penghuni samudera.

Kenapa percakapan ini mengacaukan pikiran?
Bukan salahku, bila aku meracau kalimat.
Kau juga bertingkah sama.
kau akuikah kegilaan-cintaku?

Katakan saja, ya!
Dalam bahasa apa kau ingin menyebutnya? Arab?
Ataukah Persia? Atau bahasa apa? Sekali lagi,
Aku mesti diikat ketat.
Bawa kemari temali ikal dari rambutmu.

Nah, kini aku ingat lagi kisah itu.
Manusia sesungguhnya memandangi sepatu tua
dan jaket kulit domba. Setiap hari
dia naik ke loteng rumahnya dan melihat
sepatu kerja dan jubah lusuh.
Inilah kebijakannya, mengingat liat yang hakikat.
Dan tak meneguk mabuk ego dan kesombongan.

Melihat lagi pada sepatu koyak dan jubah lusuh
adalah doa, adalah ibadah.

Kerja Yang Maha Mutlak, adalah kerja tanpa apa-apa.
Bangsal dan bahan bakunya
adalah apa yang tidak ada.

Cobalah jadikan dirimu selembar kertas tanpa coret apa-apa.
Jadilah sebuah titik di bumi yang tak ditumbuhi apa-apa,
titik yang mungkin saja ada yang bisa ditanam di sana,
mungkin saja itu benih, dari Yang Maha Mutlak.


Matsnawi V; 1884-1920; 1959-64
Poetic version by Coleman Barks
"The Essential Rumi"
HarperSanFrancisco, 1995

:: Diterjemahkan dengan iseng oleh Hasan Aspahani

-----------------------------------------------------------


Bernaung di Teduh Bayang Payung Kembang*

Ada suatu malam, yang membuka pikir, jatuh aku tak sadar
Mereka katatan seiris sabit, bagiku purnama terang berpendar
Ada suatu malam, ketika kekasih mengada di tengah kita
Malam bagai seratus siang yang membuka terangnya.

Di sekitar kita, hukum kausalitas pun mandul, rusak
Ketika kau sebut rindu pada sang Kausa Pertama,
Kemelaratan si penadah sedekah tak hendak mengelak
Kesukaran mereka, disusurinya dengan bangganya

Di dunia ini tercapai puncak kebangkatan kita
hingga pikiran lain dan Hari Kiamat melindap
Menetap dalam berkah Tuhan yang tak sudah-sudah
Anugerah yang hendak ditolak semua makhluk lainnya.
Semesta dunia menyerupa Sham-e Tabriz
Bernaung di bawah bayang teduh payung kembang.


(Divan-e Sham, syair ke-24 , Jalaluddin Rumi)
* Judul dari HA

0 komentar:

Post a Comment

 
;